Jakarta (Lampost.co) — Indonesia akan meningkatkan persyaratan untuk komponen lokal di smartphone yang diproduksi dan dijual di Tanah Air. Inisiatif ini menjadi bagian dari upaya lebih luas pemerintah Indonesia untuk memperkuat sektor manufaktur domestik. Sebagai pengingat, pemerintah Indonesia melarang penjualan iPhone 16 pada Oktober 2024 lalu. Pemerintah Indonesia menuntut Apple memperbarui sertifikasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Pemerintah Indonesia mengimplementasikan regulasi yang mengharuskan persentase spesifik dari komponen yang diproduksi di dalam negeri dalam ponsel yang dijual secara domestik. Indonesia menuntut setidaknya 40 persen komponen diproduksi di dalam negeri.
Baca juga: Apple Siap Tambah Investasi, Kapan iPhone 16 Tersedia di Indonesia?
Selain itu pemerintah Indonesia juga menegaskan bahwa regulasi tersebut ditujukan untuk menciptakan daya saing yang adil untuk investor di Tanah Air. Pemerintah juga berencana untuk menonaktifkan ponsel yang diimpor dari saluran tidak resmi atau ilegal.
Dengan demikian, regulasi ini juga disebut akan berdampak pada perangkat yang dibeli di luar negeri, meski dapat dibawa masuk Indonesia setelah membayarkan pajak yang diwajibkan. Namun, rencana nonaktif perangkat ini tidak akan diterapkan pemerintah pada perangkat milik wisatawan asing.
Akibat situasi ini, sebelumnya Apple meningkatkan penawaran untuk berinvestasi sebesar USD100 juta (Rp1,6 triliun) di Indonesia, selama dua tahun mendatang. Angka tersebut mewakili peningkatan 10 kali lipat dari penawaran Apple sebelumnya.
Apple sebelumnya mengajukan proposal untuk berinvestasi sebesar USD10 juta (Rp158,7 juta) untuk mendirikan pabrik di Bandung, Jawa Barat. Pabrik ini untuk memproduksi aksesori dan komponen, meski pemerintah Indonesia belum memberikan jawaban untuk penawaran terbaru Apple tersebut.
Kementerian Perindustrian menginginkan Apple lebih terfokus pada penelitian dan pengembangan (R&D) untuk iPhone yang akan dirilis di Indonesia. Indonesia juga menerapkan larangan penjualan Google Pixel 9 di Indonesia juga karena permasalahan kurangnya investasi dari perusahaan itu.