Bandar Lampung (Lampost.co) — Polemik antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok mengenai keberlangsungan aplikasi TikTok akhirnya menemukan titik terang. Kedua negara dikabarkan mencapai kesepakatan awal atau framework deal yang memungkinkan TikTok tetap beroperasi di AS. Namun, ada syarat penting yang harus dipenuhi, yakni pengalihan kepemilikan aset dan kontrol operasional kepada investor asal AS.
Salah satu poin utama dalam kesepakatan ini adalah algoritma rekomendasi TikTok. Tiongkok bersikeras algoritma tetap berada di bawah kendali ByteDance, perusahaan induk TikTok. Namun, algoritma tersebut akan dilisensikan agar bisa digunakan oleh versi TikTok di AS. Dengan mekanisme lisensi ini, ByteDance tidak perlu menyerahkan penuh teknologi yang dianggap sebagai kekayaan intelektual strategis, sementara AS tetap mendapatkan akses untuk mengoperasikan aplikasi di wilayahnya.
Kesepakatan ini hadir di tengah tekanan regulasi dan isu keamanan nasional di AS. Pemerintah Negeri Paman Sam menuduh bahwa data pengguna TikTok berpotensi diakses oleh pemerintah Tiongkok, sehingga memicu kekhawatiran akan penyalahgunaan informasi pribadi dan pengaruh algoritma dalam penyebaran konten.
Berdasarkan rencana yang disepakati, TikTok AS akan dipisahkan menjadi entitas baru dengan mayoritas kepemilikan dipegang oleh investor Amerika. ByteDance masih bisa mempertahankan kepemilikan minoritas, tetapi kontrol utama akan berada di tangan pihak AS. Selain itu, dewan direksi entitas baru ini akan didominasi oleh warga atau perusahaan AS, dengan tambahan satu anggota yang ditunjuk langsung oleh pemerintah AS sebagai pengawas keamanan.
Oracle
Tak hanya itu, data pengguna TikTok di AS wajib disimpan di dalam negeri. Oracle disebut akan menjadi penyedia fasilitas hosting data di Texas, sehingga seluruh aktivitas operasional berjalan sesuai regulasi keamanan AS. Presiden AS Donald Trump juga memperpanjang tenggat waktu implementasi kesepakatan hingga 16 Desember 2025, memberikan ruang bagi kedua negara untuk merampungkan detail teknis.
Perlu diketahui, TikTok sudah menjadi sorotan di AS sejak lebih dari setahun terakhir. Regulasi divest-or-ban (jual atau larang) yang disahkan pada 2024 menjadi dasar hukum yang mewajibkan TikTok mencari jalan keluar. Sebelumnya, Tiongkok menolak menyerahkan algoritma rekomendasi karena dinilai sebagai aset paling berharga milik ByteDance. Dengan adanya solusi berupa lisensi, kedua belah pihak akhirnya bisa mencapai titik temu tanpa harus benar-benar melepaskan teknologi inti tersebut.
Kesepakatan ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga mencerminkan dinamika geopolitik antara dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Implementasi selanjutnya akan sangat menentukan masa depan TikTok di pasar AS, sekaligus menjadi preseden penting bagi regulasi platform digital global.