
Reza Syawawi Peneliti di Transparency International Indonesia
RANGKAIAN persidangan sengketa Pilkada 2024 di MK menyisakan pertanyaan besar bagaimana efektivitas pengaturan pidana pemilu di dalam UU. Di atas kertas, ada banyak jenis tindak pidana pemilu yang dapat menjerat pelaku mulai pemilih, peserta pemilu, penyelenggara pemilu, hingga pejabat publik.
Namun, pengaturan tersebut cenderung bersifat formalitas dan pada kenyataannya di lapangan sering kali memberikan kesan bahwa penegakan hukum tindak pidana pemilu akan sulit dilakukan. Problemnya mungkin saja dari soal waktu yang sangat terbatas, kemampuan pengawas dan penegak hukum yang terbatas, hingga tekanan politik.
Jika membaca 24 putusan MK dalam persidangan 24 Februari 2025 yang lalu yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah, ada dua putusan yang terkait dengan tindak pidana pemilu, yakni Putusan MK No 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 tentang sengketa Pilkada Kabupaten Serang, Banten, dan Putusan MK No 224/PHPU.BUP-XXIII/2025 tentang sengketa Pilkada Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Kedua putusan itu memuat argumentasi hukum bahwa telah terjadi tindak pidana pemilu sehingga perlu melakukan PSU di semua TPS.
Tindak Pidana Pemilu
Ada dua tindak pidana pemilu dalam putusan di atas yang berimplikasi terhadap putusan PSU yang ditetapkan MK, yakni pertama tindak pidana pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU No 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada yang berbunyi ‘Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon’.
Larangan itu berimplikasi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 188 UU Pilkada (UU 1 Tahun 2015) yang berbunyi ‘Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00 ‘.
Dalam pertimbangan putusan MK terkait sengketa Pilkada Kabupaten Serang dengan sangat jelas menyebutkan bahwa ada bukti dan fakta hukum bahwa kegiatan-kegiatan yang melibatkan Yandri Susanto (YS) selaku menteri desa dan pembangunan daerah tertinggal, baik selaku pejabat yang mengundang maupun selaku tamu undangan. Dalam kegiatan itu terdapat aktivitas yang mengandung pernyataan nomor urut 2 yang notabene ialah istri YS.
Jika dikaitkan dengan rumusan Pasal 71, bisa dipastikan peristiwa tersebut sudah memenuhi rumusan sebagai tindak pidana. Dalam konteks itu pidana tidak hanya dapat dijatuhkan kepada YS, tetapi juga kepada kepala desa yang terlibat aktif dalam kegiatan dimaksud. Bahkan jika membaca Pasal 189 UU 8/2015 tentang Perubahan UU Pilkada, calon kepala daerah/wakil kepala daerah juga dapat dipidana karena sengaja melibatkan kepala desa dalam sebuah kegiatan yang menguntungkan dan/atau merugikan salah satu pasangan calon.
Karena menurut putusan MK telah terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Hal itu semakin dikuatkan dalam putusan MK yang menyebutkan bahwa ‘pelanggaran yang dilakukan secara terstuktur karena melibatkan struktur aparat pemerintahan desa yang berkaitan erat dengan tindakan atau perbuatan. Baik yang disengaja maupun tidak disengaja yang dilakukan oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam kapasitasnya selaku pejabat negara’.
Kedua, tindak pidana pilkada politik uang (money politics) yang ditujukan untuk membeli suara pemilih (vote buying) dalam Pilkada Kabupaten Mahakam Ulu. Tindak pidana itu diatur dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (4) huruf c UU 10/2016. Dalam pembuktian di persidangan terungkap bahwa pasangan calon nomor urut 3 (Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah) membuat kontrak politik yang berisikan janji memberikan sejumlah uang yang disebut sebagai alokasi dana kampung dengan jumlah tertentu.
MK menyatakan pelanggaran itu bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sehingga MK juga menyatakan paslon tersebut didiskualifikasi dan tidak dapat mengikuti PSU.
Dalam putusannya, diskualifikasi dilakukan MK karena khawatir jika dampak kontrak politik atau vote buying dimaksud masih belum akan hilang pengaruhnya terhadap pemilih. Apalagi Bupati Mahakam Ulu yang sedang menjabat ialah orangtua calon bupati nomor urut 3.
Tumpulnya Penegakan Hukum
Jika membandingkan kedua tindak pidana pemilu di atas, seharusnya MK juga melakukan diskualifikasi terhadap paslon di Pilkada Kabupaten Serang. Apabila menggunakan alasan ‘pengaruh’ yang potensial masih ada. Misalnya pengaruh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal kepada kepala desa dan perangkat desa masih akan terjadi selama yang bersangkutan masih menjabat. Karena itu, pilihan yang paling rasional ialah menunggu kebijakan Presiden Prabowo untuk memberhentikan Menteri Desa. Karena menurut putusan MK telah terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Dari sisi penegakan hukum pemilu, pidana politik uang tidak bisa diproses karena telah melewati batas waktu. Namun, kelemahan itu tentu bisa diatasi jika Bawaslu di daerah bekerja lebih baik untuk mendeteksi dan melakukan proses penegakan hukum. Namun, situasi itu justru semakin menguatkan dugaan Bawaslu sebagai ujung tombak penegakan hukum pemilu tidak memperbaiki kinerja mereka. Padahal Putusan MK No 1/PHPU.PRES-XXII/2024 terkait dengan sengketa Pilpres 2024 yang lalu sudah mengingatkan agar Bawaslu melakukan perbaikan.
‘Mahkamah perlu menegaskan dalam rangka perbaikan ke depan agar pengawasan Bawaslu memberi manfaat lebih untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Maka perlu dilakukan perubahan mendasar pengaturan tentang pengawasan pemilu. Termasuk tata cara penindakannya jika terjadi pelanggaran pada setiap tahapan pemilu’.
Karena itu, Bawaslu harus masuk substansi laporan atau temuan untuk membuktikan ada-tidaknya secara substansial telah terjadi pelanggaran pemilu. Termasuk dalam hal ini pemilihan kepala daerah. Artinya, bilamana perubahan dimaksud tidak dilakukan, hal demikian akan mengancam terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Adanya ancaman seperti itu dapat menyebabkan Bawaslu kehilangan eksistensi mereka sebagai lembaga pengawas pemilu untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.
Tumpulnya penegakan hukum pidana pemilu yang kembali terulang pada Pilkada 2024 memantik diskursus. Terutama tentang urgensi keberadaan lembaga pengawas pemilu ke depan. Apakah norma hukum pidananya yang harus dihapuskan sehingga tidak lagi dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi digeser ke ranah hukum administrasi? Ataukah institusi penegakan hukumnya yang dievaluasi atau bahkan direorganisasi? Pertanyaan itu tentu sangat relevan dengan pembahasan rancangan Undang-Undang Pemilu yang sedang dibahas di DPR.