
Pengamat Lingkungan
Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
INDONESIA darurat bencana banjir. Beberapa hari terakhir ini berita utama media menyampaikan banjir dihampir setiap daerah. Jika dikalkulasikan, maka tidak terhitung kerugian yang diderita masyarakat maupun pemerintah. Banjir menyebabkan berbagai kerugian baik dari segi ekonomi, sosial, maupun kesehatan. Kerusakan property, infrastruktur baik pribadi maupun fasilitas umum. Masyarakat terdampak kehilangan mata pencaharian dan banyak usaha terganggu karena banjir. ekologis
Pemerintah dan masyarakat harus mengeluarkan dana besar untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat banjir. Air banjir sering kali membawa bakteri dan virus, menyebabkan penyakit seperti diare, leptospirosis, demam berdarah, dan infeksi kulit. Sumber air bersih tercemar, dan pasokan makanan bisa berkurang, meningkatkan risiko malnutrisi.
Trauma, stres, dan gangguan kesehatan mental sering dialami oleh korban banjir, terutama anak-anak dan lansia.
Saya tertarik dengan pernyataan salah satu kepala daerah yang menyatakan banjir saat ini harus diambil hikmahnya. Yakni semua kepala daerah di bawah kepemimpinnya harus melakukan tobat ekologis. Beliau memaknai bahwa tobat ekologis artinya tidak mengulangi kebijakan tata ruang yang terjadi selama ini yang tidak terkendali. Sehingga berdampak banjir (Jumat, 07 Maret 2025). Luar biasa, kata ini yang terucap ketika saya membaca pernyataan tersebut.
Mengurai Akar Masalah
Banjir seharusnya bukan menjadi kebiasaan bencana lima tahunan. Banjir pasti ada penyebabnya dan penyebabnya sesungguhnya dapat diminimalisir.
Dalam lamannya (https://www.bmkg.go.id), BMKG menyampaikan laju perubahan curah hujan berdasarkan data hasil observasi mulai dari tahun 1981-2023. Dengan bahasa sederhana, bahwa di Indonesia selama pengamatan 42 tahun, laju perubahan curah hujan berubah dari waktu ke waktu. Ada daerah yang mengalami peningkatan curah hujan tertinggi sebesar 2784 mm, sementara daerah lain mengalami penurunan curah hujan terendah sebesar 750 mm. Ini berarti bahwa beberapa wilayah di Indonesia mengalami curah hujan yang semakin meningkat, sementara wilayah lain mengalami penurunan curah hujan. Keadaan ini berimplikasi pada pola iklim, ketersediaan air, dan potensi bencana seperti banjir atau kekeringan.
Data resmi dari BMKG jelas menyampaikan bahwa curah hujan di beberapa daerah di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Artinya potensi banjir akan terus terjadi setiap tahun, apabila akar masalah banjir belum terselesaikan pada saat ini. Ada beberapa penyebab utama yang sering menjadi pemicu banjir, dari faktor alam karena intensitas hujan yang tinggi dalam waktu singkat atau hujan berkepanjangan yang dapat menyebabkan air meluap karena tanah tidak mampu menyerapnya dengan cepat.
Dari faktor manusia, antara lain karena adanya penggundulan hutan, deforestasi, alih fungsi lahan, sistem drainase yang buruk, membuang sampah di sungai atau selokan yang menyumbat aliran air. Penggundulan hutan yang terjadi menyebabkan longsor karena tidak ada pohon yang berfungsi menyerap air dan menahan tanah agar tidak longsor. Deforestasi yang tidak terkendali mengurangi daya serap tanah dan meningkatkan risiko banjir. Alih fungsi lahan sebagai akibat urbanisasi yang tidak terencana yang menyebabkan banyak lahan resapan air berubah. Terutama menjadi permukiman, jalan, dan kawasan industri, sehingga air hujan tidak bisa terserap dengan baik.
Mengapa perlu memahami mitigasi banjir. Memahami mitigasi banjir sangat penting, karena Indonesia sering mengalami bencana banjir.
Dengan memahami langkah-langkah mitigasi, masyarakat dapat mengambil tindakan preventif untuk meminimalkan kerugian harta benda dan korban jiwa saat banjir terjadi. Pengetahuan tentang mitigasi banjir meningkatkan kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana, sehingga mereka dapat merespons dengan cepat dan tepat.
Dari beberapa sumber, nyata bahwa tanggul berfungsi sebagai penghalang yang dengan desain untuk menahan air banjir di palung sungai, melindungi daerah sekitarnya dari limpasan air. Tanggul juga berfungsi untuk melokalisir banjir di sungai, sehingga tidak melimpas ke kanan dan ke kiri sungai yang merupakan daerah peruntukan.
Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat di Jakarta adalah contoh kanal yang pembangunannya untuk mengalihkan aliran air dari sungai-sungai utama. Sehingga mengurangi risiko banjir di area perkotaan. Kanal-kanal ini terbangun untuk mengalihkan air yang mengalir dari selatan kota menuju laut, melewati wilayah perkotaan. Sedangkan penguatan sistem drainase yang efektif dapat membantu mengurangi risiko banjir dan kerusakan akibat perubahan iklim.
Sistem drainase yang baik memastikan aliran air hujan dapat dialirkan dengan cepat dan efisien, mencegah genangan yang dapat menyebabkan banjir.
Bahkan perlu pembangunan infrastruktur adaptif, misalnya rancangan rumah, jembatan, dan fasilitas umum untuk mengatasi dan mengurangi kerusakan. Yakni melalui penerapan teknologi dan desain yang mempertimbangkan potensi risiko banjir. Harapannya risiko dan dampak banjir dapat minimal, sehingga masyarakat dapat hidup dengan lebih aman dan nyaman meskipun berada di wilayah rawan banjir.
Kebijakan Ramah Lingkungan
Banjir saat ini terjadi, karena kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan. Ada kebijakan tata ruang dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Kebijakan tata ruang berperan sebagai instrumen penting dalam mengatur dan mengendalikan alih fungsi lahan Apa yang keliru dengan kebijakan tata ruang dengan alih fungsi lahan yang tidak terkendali? Alih fungsi lahan, terutama dari lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian seperti perumahan, industri, atau infrastruktur. Hal itu dapat menimbulkan berbagai permasalahan jika kebijakan yang mengaturnya tidak dirancang dan terimplementasikan dengan baik. Alih fungsi lahan, terutama dari area resapan air seperti hutan dan lahan pertanian menjadi permukiman, industri, atau infrastruktur lainnya, memiliki hubungan erat dengan peningkatan risiko banjir.
Ada beberapa kelemahan umum dalam kebijakan alih fungsi lahan di daerah, misalnya pemberian izin yang longgar.
Seringkali, izin alih fungsi lahan diberikan dengan mudah atas nama peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap berbagai sektor.
Penting bagi perencana dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak alih fungsi lahan terhadap risiko banjir. Perencanaan tata ruang yang bijak, konservasi lahan resapan air, dan penerapan praktik pembangunan berkelanjutan dapat membantu mengurangi risiko banjir akibat alih fungsi lahan. Memang perlu kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi, dan pemahaman pejabat yang menentukan kebijakan mengenai makna dan kepedulian pada lingkungan.
Tobat Ekologis
Setelah akar masalah terurai, dan konsep kebijakan untuk ramah lingkungan, namun tidak cukup jika konsep moral dan spiritual pejabat penentu kebijakan tidak tersentuh. Karena salah satu permasalahan yang terjadi karena kebijakan tidak ramah lingkungan. Sampai saat ini, kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan yang menyebabkan banjir, tidak terkena sanksi. Mungkin tepat, jika saat ini semua pejabat yang akan menentukan kebijakan, melakukan tobat ekologis.
Frase tobat ekologis mengacu pada konsep pertobatan ekologis (ecological conversion) yang dipopulerkan oleh Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato si’ (surat resmi yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 24 Mei 2015), yang menyoroti pentingnya merawat bumi sebagai “rumah bersama” bagi seluruh makhluk hidup. Apa yang dimaksud dengan tobat ekologis? Tobat ekologis dapat sebagai konsep yang merujuk pada perubahan sikap dan perilaku dalam menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan spiritual.
Konsep ini menekankan perlunya perubahan sikap dan perilaku manusia untuk lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan.
Dalam ajaran Islam, tobat ekologis dapat dikaitkan dengan konsep istiṣlāḥ al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan) dan khilāfah fil-ardh (tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi). Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab moral kepada Allah. Dalam Islam, tobat (taubah) berarti kembali kepada Allah dengan meninggalkan perbuatan dosa dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Jika terkait dengan lingkungan, tobat ekologis berarti meninggalkan kebiasaan yang merusak alam dan beralih kepada gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Ada beberapa prinsip Islam yang relevan dalam tobat ekologis antara lain bahwa:
- Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), yang berarti manusia bertanggung jawab untuk menjaga dan mengelola alam dengan baik
- Alam tercipta dalam keseimbangan (QS. Ar-Rahman: 7-9), dan manusia mendapat perintah untuk tidak merusaknya.
- Islam melarang perbuatan fasād (kerusakan di bumi), termasuk pencemaran dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan (QS. Al-A’raf: 56)
- Islam mengajarkan qana’ah (merasa cukup) dan zuhud (tidak berlebihan), yang berarti tidak boros dalam penggunaan sumber daya (QS. Al-Isra’: 27)
Jika berkenan memaknai tobat ekologis dalam Islam, Islam mengajarkan bukan sekadar mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan, tetapi juga bagian dari ketaatan kepada Allah dan perwujudan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Islam mendorong manusia untuk memperbaiki hubungan mereka dengan alam sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.
Pejabat penentu kebijakan memiliki tanggung jawab moral yang signifikan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Sebagai pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan, mereka berperan penting dalam memastikan, bahwa pembangunan dan penggunaan sumber daya alam terwujud secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Pejabat penentu kebijakan harus memiliki sikap dan perilaku moral yang terhormat, memegang teguh aturan untuk mengamankan kepentingan publik terkait sumber daya alam. Mereka harus menjalankan tugasnya demi terciptanya kelestarian lingkungan hidup, menghindari penyelewengan kekuasaan yang dapat merugikan lingkungan.