Bandar Lampung (Lampost.co)–Tree of Life menutup Festival Pesenggiri 2025, dengan Tarian Kitapoleng di Lampung Marriott Resort & Spa. Kegiatan budaya dua hari ini, 20-21 Juni 2025, menampilkan suguhan yang memadukan seni dan semangat gotong royong.
Tari ini bukan sekadar pertunjukan. Kitapoleng lahir dari proses kolaborasi berbagai kalangan, termasuk mereka yang belum pernah menari.
Festival Pesenggiri mengusung tema Threads of Tradition. Filosofi Pi’il Pesenggiri hadir dalam format modern dan inklusif. Nilai Juluk Adok, Nengah Nyappur, Nemui Nyimah, serta Sakai Sambayan terasa dalam setiap agenda.
Hari Pertama: Tari, Kuliner, dan Seni
Pembukaan festival digelar Jumat, 20 Juni 2025, menampilkan Opening Performance Kitapoleng di Taman Kencana. Meski tampil tanpa nama besar, Kitapoleng langsung mencuri perhatian penonton.
“Sebagian besar penari belum pernah naik panggung,” ujar MsBong, penyelenggara Festival Pesenggiri.
Beragam aktivitas turut meramaikan hari pertama. Ada Cooking Class Sumatera Culinary Heritage bersama Chef Toni Azhari. Workshop seni diisi Anshori Djausal dan Dibal Ranuh. Talkshow Sustainability Business menghadirkan Helianti Hilman dan Dian Maya. Pengunjung juga bisa mengikuti Jamu Making & Sundowner Painting.
Baca Juga: Festival Pesenggiri Hidupkan Kembali Tradisi Lampung
Hari pertama ditutup dengan jamuan budaya Nemui Nyimah VIP Dining. Acara ini mempertemukan tamu, seniman, dan sponsor dalam suasana hangat.
Hari Kedua: Healing, Fotografi, dan Penampilan Memukau
Festival berlanjut dengan suasana lebih personal pada 21 Juni 2025. Mengawali kegiatan adalah Culinary Expedition bersama Chef Devy Anastasia. Workshop Phone Photography 101 oleh Willy Wiradijaya-Kokoromoto.
Peserta juga menikmati Healing Painting bersama Mira Hoeng di ruang terbuka.
Suasana makin semarak dengan penampilan musik Krontjong Togoe. Puncaknya, Kitapoleng kembali tampil dan memukau penonton.
Kitapoleng: Tarian dari Semangat Gotong Royong
Kitapoleng tampil dua kali sepanjang festival. Keistimewaan tari ini terletak pada proses pembentukannya.
Para penari direkrut lewat audisi daring dan dilatih dari nol. Proses latihan berlangsung intensif selama satu setengah bulan tanpa bayaran.
Seluruh kebutuhan akomodasi dan konsumsi panitia sediakan. Semua ini menjadi wujud nyata filosofi Sakai Sambayan atau gotong royong.
Jasmine, yang awalnya bertugas sebagai koreografer, akhirnya turut tampil. “Kami kekurangan peran utama, jadi saya turun sendiri ke panggung,” katanya.
Menurut MsBong, Kitapoleng menekankan semangat kontribusi dan kebersamaan. “Para penari ini belum dikenal. Tapi malam ini, mereka punya panggung,” ucapnya.
Lebih dari Festival: Gerakan Budaya Lampung
Festival Pesenggiri bukan sekadar ajang pertunjukan budaya, melainkan gerakan membangun identitas budaya Lampung. Tujuannya menghadirkan alternatif destinasi budaya selain Bali. Sekaligus memperkuat keberagaman etnis di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai.
“Orang ke Bali karena budayanya kuat. Lampung juga punya potensi itu,” kata MsBong.
Dengan keaslian dan semangat bangkit, budaya Lampung siap bersinar. Festival Pesenggiri membuktikan bahwa budaya milik siapa saja. Semua orang bisa hadir, belajar, dan merayakannya bersama.