Krui (Lampost.co) – Petani Kabupaten Pesisir Barat mengeluhkan mahalnya harga pupuk dan lemahnya pengawasan terhadap distribusi pupuk bersubsidi. Mereka berharap pemerintah dapat menertibkan dan memberi sanksi tegas kepada penjual pupuk nakal yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET).
Para petani menilai, lemahnya pengawasan menyebabkan mereka terus menjadi korban eksploitasi, terutama daerah yang jauh dari pusat distribusi. Kondisi ini membuat kesejahteraan petani semakin sulit tercapai.
Meskipun pemerintah telah menetapkan harga pupuk bersubsidi melalui Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor. 1117/KPTS/SR.301/M/10/2025. Namun petani Pesisir Barat mengaku harga pupuk di lapangan belum turun.
Dalam aturan tersebut, HET pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai berikut: Urea Rp1.800 per kilogram; NPK Rp1.840 per kilogram, NPK Kakao Rp2.640 per kilogram; ZA Rp1.360 per kilogram dan Organik Rp640 per kilogram.
Namun, faktanya, harga pupuk pada tingkat pengecer masih berkisar Rp150.000 per sak (50 kg) bahkan bisa mencapai Rp170.000 per sak beberapa tempat.
Mat Razali (52), petani asal Kecamatan Karya Penggawa, mengaku harga pupuk mahal membuat hasil panen tidak sebanding dengan biaya produksi.
“Sekarang bertani ibarat cuma beli beras murah, bukan cari untung. Harga pupuk tetap Rp150 ribu per sak, belum biaya bajak dan tanam,” ujar Razali, Kamis, 30 Oktober 2025.
Kemudian Razali menggarap sawah seluas 7.000 meter persegi dan membutuhkan sekitar 9–10 sak pupuk setiap musim tanam. Hasil panennya mencapai 3,5 ton gabah. Namun menurutnya masih di bawah potensi maksimal empat ton karena kekurangan pupuk dan kendala banjir.
Modus Penipuan Msdsos
Karena harga pupuk mahal, Razali sempat mencoba membeli pupuk yang dijual murah lewat media sosial seharga Rp 90 ribu per sak. Namun, ia justru hampir menjadi korban penipuan.
“Saya dapat telpon orang yang mengaku polisi, katanya PT penjual pupuk sedang diawasi. Untung saya batal beli, karena ada teman yang tertipu, ia minta uang denda setelah pesan pupuk lewat Facebook,” jelasnya.
Sementara itu Abid (51), petani asal Pekon Wayjambu, Kecamatan Pesisir Selatan, juga mengalami hal serupa. Ia tetap membeli pupuk dengan harga tinggi meski tergabung dalam kelompok tani.
“Saya baru panen, beli pupuk NPK dan urea seharga Rp 145 ribu per zak. Katanya sudah turun harga pupuk, tapi tetap mahal,” ujar Abid.
Kemudian Abid menggarap sawah seluas ¾ hektare dan membutuhkan sekitar 400 kg pupuk setiap musim tanam. Ia juga menyebut bahwa harga pupuk yang ia beli melalui kelompok tani nyaris sama dengan harga kios. Yakni sekitar Rp 285 ribu untuk dua zak (urea dan phonska).
Penjelasan DKPP Pesisir Barat
Kepala DKPP Kabupaten Pesisir Barat melalui Kabid Sarana Prasarana dan Penyuluhan, Ade Kurniawan mengatakan. Pihaknya telah menerbitkan surat edaran Nomor 500.6/1766/IV.09/2025 tentang penjualan pupuk bersubsidi sesuai HET 2025.
“Kalau ada kios menjual pupuk bersubsidi di atas HET, bisa terkena sanksi hingga penutupan kios atau pidana,” tegas Ade.
Kemudian ia menjelaskan, harga HET berlaku pada gudang Kios Pupuk Lengkap (KPL) dan pembayaran dilakukan secara tunai. Jika petani minta pupuk diantar ke lokasi kebun. Tambahan biaya transportasi bisa menjadi kesepakatan antara petani dan pemilik kios.
Lalu Ade menyebut terdapat 38 KPL Pesisir Barat yang tersebar pada 10 kecamatan (kecuali Pulau Pisang). Tiga distributor utama pada wilayah tersebut adalah PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (16 KPL); PT. Media Distribusi Nasional (12 KPL) dan CV. Tani Mitra Sejati (10 KPL)
Total terdapat 16.506 petani dengan luas tanam 32.891 hektare (padi, jagung, dan kopi). Tahun 2025, Pesisir Barat mendapat alokasi 4.075 ton pupuk urea dan 6.500 ton pupuk NPK.
“Tahun ini hanya dua jenis pupuk bersubsidi, urea dan NPK. Untuk 2026 kami ajukan tambahan formula khusus, tapi tidak untuk ZA dan organik karena kurang diminati,” pungkas Ade.








