Bandar Lampung (Lampost.co) — Pemerintah tengah gencar mencanangkan program swasembada pangan sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan produk impor.
Untuk mencapai target tersebut dengan melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan produksi pangan, baik optimalisasi seluruh sumber daya lahan yang tersedia, penggunaan bibit unggul, dukungan sumber daya manusia yang kompeten serta penggunaan peralatan pertanian.
Namun program swasembada pangan, salah satunya tanaman kedelai, menemui tantangan di lapangan. Sejumlah petani lokal di Kabupaten Sragen, Jawa Tegah mengaku enggan menanam kedelai di lahan pertanian dan memilih tanaman lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Mukhtarul Havid, petani asal Desa Peleman, Kecamatan Gemolong, Sragen, mengatakan hasil panen kedelai sulit terjual dan kalah bersaing dengan kedelai impor yang lebih perajin tahu dan tempe minati. Sebagian besar perajin tahu dan tempe di desanya menggunakan kedelai impor karena rasa dan tekstur jauh lebih baik.
Kondisi itu membuat para petani kurang tertarik menanam kedelai lokal lantaran nilai ekonominya kurang menjanjikan. Selain itu, meski harga kedelai lokal lebih murah, permintaan dari pasar hampir tidak ada.
“Kedelai lokal harganya memang lebih murah, tapi gak laku. Selain tahu dan tempe, susu kedelai juga rata-rata bahan bakunya pakai kedelai impor,” ujarnya.
Havid menjelaskan, sebagian besar petani di Sragen lebih memilih untuk menanam padi dan palawija seperti kacang hijau atau ketela. Selain masa tanam yang lebih pasti, harga padi di pasaran juga sedang tinggi, sehingga akan memberikan keuntungan lebih cepat.
“Sekarang padi harga standarnya Rp6.500 per kilogram, kalau kering bisa sampai Rp8.000 per kilogram. Jadi kalau tanam kedelai, ya pasti pikir-pikir dulu,” katanya.
Selain soal hasil panen, efisiensi waktu tanam dan kepastian adanya pembeli jelas menjadi pertimbangan. Kondisi harga sewa lahan yang semakin mahal membuat petani lebih memilih komoditas yang lebih cepat balik modal.
Kedelai Lokal Tidak Tahan Lama untuk Tahu dan Tempe
Suwolo, perajin tahu asal Kampung Teguhan, Kelurahan Sragen Wetan, Kecamatan Sragen, Jawa Tengah, mengungkapkan para petani lebih banyak menggunakan kedelai impor untuk produksi tahu.
“Kedelai lokal itu cuma sekadar lewat. Kedelai lokal paling cuma dapat dua kresek (sekitar 1 kuwintal), sebentar saja sudah habis,” kata Suwolo.
Menurut dia, mendapatkan kedelai impor jauh lebih mudah dan memiliki banyak pilihan. Sementara kedelai lokal stoknya sangat terbatas dan hanya tersedia musiman saat waktu panen.
Dari segi rasa, kedelai lokal sebenarnya lebih enak, tetapi produknya tidak awet dan cepat basi. “Kalau kedelai lokal, dua hari saja tahu mulai berbau dan basi. Tapi kalau impor, bisa tahan sampai tiga hari,” ujar dia.
Selain masalah daya tahan, kedelai impor juga unggul karena lebih kering dan bisa tersimpan lama tanpa berjamur. Sementara kedelai lokal hanya mampu bertahan seminggu, sebelum akhirnya rusak.
“Kedelai impor itu bisa tersimpan berbulan-bulan. Kalau kedelai lokal, seminggu sudah berjamur karena kualitasnya kurang kering,” ujarnya.
Mengenai harga, kedelai impor rata-rata berkisar Rp9.000 per kilogram, sedangkan kedelai lokal harganya memang lebih murah sekitar Rp8.300–Rp8.500.
Dia turut menyambut wacana pemerintah untuk mencapai swasembada kedelai, asalkan dengan stabilitas harga dan jaminan kualitas. “Saya setuju kalau kedelai
lokal bisa produksi sendiri. Tapi jangan cuma murah, karena yang lebih penting standarnya jelas, kualitasnya bagus dan harganya stabil,” katanya.
Petani di Pesisir Barat Tidak Lagi Membudidayakan Kedelai
Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri masih menghadapi tantangan besar. Salah satunya, semakin sedikit petani yang berminat menanam kedelai.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Pesisir Barat, Lampung, Muchtar Husin, mengatakan salah satu penyebab utama petani enggan menanam kedelai adalah masalah pemasaran hasil panen.
“Tanaman kedelai ini banyak terserap ke perajin tahu dan tempe, tetapi pelaku usaha lebih tertarik menggunakan kedelai impor,” kata Muchtar.
Menurutnya, kendala tersebut bukan karena kualitas lahan. Tanah di wilayah Pesisir Barat cukup subur dan cocok untuk kedelai, terbukti dari keberhasilan budidaya sebelumnya. Namun, faktor cuaca saat panen sering menjadi hambatan, terutama saat musim hujan yang dapat mengganggu proses pengeringan kedelai.
Dari sisi ekonomi, kedelai juga kalah bersaing dengan komoditas lain seperti padi dan jagung. Ia memaparkan, pemerintah menetapkan harga intervensi untuk harga jual gabah kering dan jagung melalui Badan Urusan Logistik (Bulog), sehingga ada jaminan pemasaran setelah panen.
Sementara untuk tanaman kedelai belum memiliki sistem penyerapan yang kuat maupun insentif harga. Akibatnya, petani lebih memilih untuk menanam padi atau jagung yang memberikan keuntungan lebih besar dan pasar yang lebih pasti.
Sebagai perbandingan, jika menanam kedelai petani mendapatkan hasil panen maksimal 1,5 ton per hektare dengan harga jual sekitar Rp8.500 per kilogram.
Sementara untuk tanaman jagung, petani bisa mendapatkan hasil panen hingga 6 ton per hektare dengan harga jual sekitar Rp 5.500 per kg sesuai harga pembelian pemerintah (HPP).
Data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menunjukkan, pada 2024–2025 tidak ada petani di Pesisir Barat, Lampung, yang membudidayakan kedelai.
Program budidaya kedelai yang terakhir pemerintah catat pada 2023 di Pekon Seray, Kecamatan Pesisir Tengah dan Pekon Sukabanjar, Kecamatan Ngambur, dengan total luas tanam 55 hektare.
“Itu pun secara tumpang sari dengan jagung. Sekarang kalau pun ada petani menanam kedelai hanya di lahan pekarangan untuk konsumsi sendiri, bukan untuk produksi,” ujar Muchtar.
Dari sisi teknis pertanian, Muchtar menilai budidaya kedelai sebenarnya tidak sulit. Namun, tantangan utamanya adalah pada pemasaran dan nilai jual hasil panen yang belum menjanjikan.
Ia berharap ke depannya kedelai tetap tertanam secara swadaya. Minimal untuk memenuhi kebutuhan lokal dan meningkatkan nilai tambah lahan melalui sistem tumpang sari.








