Jakarta (Lampost.co) – Densus 88 Antiteror Polri mengungkap bahwa jaringan terorisme telah merekrut 110 anak berusia 10–18 tahun di 23 provinsi. Rekrutmen itu berlangsung masif melalui propaganda digital.
Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan kelompok teror memulai proses rekrutmen dengan menyebarkan konten radikal di media sosial terbuka. Misalnya, di Facebook, Instagram, dan game online. Mereka memproduksi video pendek, animasi, meme, hingga musik untuk menarik simpati dan membangun kedekatan emosional dengan anak.
Jaringan teror kemudian menghubungi anak yang potensial melalui platform tertutup seperti Facebook dan Telegram. Trunoyudo menyebutkan seorang anak rentan terhadap radikalisasi karena adanya perundungan, kurangnya perhatian keluarga, pencarian jati diri, dan marginalisasi sosial. Selain itu, rendahnya literasi digital dan pemahaman agama.
Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menegaskan bahwa rekrutmen anak oleh jaringan terorisme meningkat tajam. Jika pada 2011–2017 hanya terdata 17 anak, pada akhir 2024 hingga 2025 jumlahnya melonjak menjadi 110 anak.
“Proses rekrutmen ini berlangsung sangat masif, terutama melalui media daring,” kata Mayndra.
Polri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk mencegah bertambahnya korban. Ia mengingatkan orang tua, sekolah, dan pihak yang bertanggung jawab terhadap anak untuk memperkuat pengawasan dan deteksi dini terhadap potensi paparan radikalisme.
“Langkah pencegahan yang paling efektif bermula dari rumah,” ujarnya.








