Bandar Lampung (Lampost.co) — Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat seiring rencana pemerintah untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan nasional. Kebijakan redenominasi untuk menyederhanakan digit mata uang tanpa mengubah nilai transaksi masyarakat.
Ekonom Universitas Lampung, Nairobi, menilai redenominasi secara konsep mengubah penyebutan nominal dari ribuan menjadi satuan. Penyederhanaan itu bersifat administratif sehingga tidak memengaruhi daya beli atau nilai uang itu sendiri.
Menurutnya, pola serupa sebenarnya telah berjalan di masyarakat secara informal dalam aktivitas perdagangan bernilai besar, seperti penyebutan Rp1 juta menjadi Rp1.000 di kalangan makelar atau pelaku usaha tertentu.
Guru Besar Ekonomi Universitas Lampung itu menyebut, pemahaman soal redenominasi masih sering keliru. Banyak pihak menyamakannya dengan sanering, padahal keduanya memiliki dampak yang berbeda.
“Selama ini banyak yang mengira redenominasi sama dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Padahal, redenominasi hanya mengubah bentuk nominal tanpa mengurangi nilai. Menukar uang seribuan kertas dengan koin seribu, bentuknya berubah, tapi nilainya tetap,” ujarnya, Kamis, 20 November 2025.
Nairobi mengatakan, perubahan digit tidak akan berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Perubahan hanya terjadi pada angka penyebutannya.
“Misal, jika sebelumnya 1 USD setara Rp15.000, setelah redenominasi menjadi Rp15. Nilainya tetap sama,” kata dia.
Dia menilai digit angka yang lebih kecil berpotensi menimbulkan efek psikologis yang positif. Rupiah dapat terlihat lebih kuat dan lebih mudah daripada dengan mata uang global, seperti USD, EUR, atau SGD.
Menurutnya, penyederhanaan nominal juga bermanfaat bagi efisiensi pencatatan dan administrasi keuangan. Format angka yang lebih ringkas akan memudahkan pelaporan, transaksi, dan proses digitalisasi.
Dia menekankan redenominasi mampu menempatkan rupiah pada ukuran nominal yang lebih wajar ketika bersanding dengan mata uang negara lain.
Besarnya digit rupiah selama ini sering menimbulkan persepsi seolah nilainya tinggi, padahal tidak. “Besarnya digit mata uang saat ini, seolah-olah nilainya besar, padahal tidak juga,” pungkasnya.







