Bandar Lampung (Lampost.co) — Segenap pelaku budaya di Provinsi Lampung mengadakan diskusi di gedung Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung (Unila) dalam acara Majelis 27an dengan tema “Masa Depan Bahasa Lampung?” Sabtu malam, 27 April 2024.
Diskusi terbuka yang diinisasi Keluarga Alumni UKMBS Unila (Kaula) ini menghadirkan pembicara Iqbal Hilal, selaku Kaprodi Bahasa Lampung FKIP Unila serta Budayawan Lampung Ari Pahala Hutabarat.
Dialog dibuka oleh akademisi FKIP Unila, Edi Siswanto, yang menyampaikan latar belakang munculnya diskusi ini. Ia menyebut pertemuan itu muncul dari hadirnya kekhawatiran tentang Bahasa Lampung yang disinyalir akan punah. Anggapan ini muncul berdasarkan riset pakar sosiolinguistik, Prof. Hasyim Gunawan (1984) yang menyebutkan Bahasa Lampung diprediksi akan punah dalam 3 generasi yang berarti 75 tahun dari tahun 1984.
Edi menambahkan problem ini bisa dilihat dari perilaku masyarakat Lampung saat ini, di mana timbul rasa tidak percaya diri ketika menggunakan bahasa ibunya. Terlebih pada generasi muda yang tinggal di daerah kota. Merasa menurutnya lebih bangga ketika mampu menguasai bahasa asing seperti bahasa Inggris.
“Data statistik lainnya juga menyebutkan, terhitung dari 9 juta penduduk Lampung, hanya 12% yang merupakan penutur jati Bahasa Lampung sehingga sulit untuk membuat Bahasa Lampung familiar secara menyeluruh,” ungkapnya.
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Lampung Unila, Iqbal Hilal menuturkan kondisi Bahasa Lampung ke depan bergantung pada perilaku masyarakat serta sikapnya terhadap bahasa. Salah satu nilai yang terkandung dalam Piil Pesenggiri adalah Nengah Nyappugh. Di mana menurutnya masyarakat Lampung punya toleransi tinggi terhadap etnis pendatang. Tapi jika disalahtempatkan, terutama dalam penggunaan bahasa, justru itulah yang menurutnya akan mendorong kepunahan Bahasa Lampung.
“Jika berkomunikasi sehari-hari kita sungkan menggunakan Bahasa Lampung, artinya ada yang salah dengan sikap kita. Sebutan ‘orang Lampung’ bukan ditentukan berdasarkan etnisnya tapi berdasarkan siapa saja yang berada di sana. Peganglah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”: sebagai orang yang hidup dan dihidupi tanah Lampung, harusnya kita malu jika tidak berbahasa Lampung,” ujarnya.
Untuk itu, Iqbal menyebut perlunya memperbanyak peristiwa-peristiwa bahasa. Di mana tiap komunitas atau lembaga-lembaga bisa mengontruksikannya minimal di lingkarannya sendiri dengan membiasakan berbahasa Lampung. Selain itu, bisa juga dengan memperbanyak acara yang bertema Bahasa Lampung dalam konteks seni misalnya, termasuk juga di acara-acara resmi.
Pikiran dan Bahasa
Sementara itu, Budayawan Lampung lainnya Ari Pahala Hutabarat memaparkan alasan mengapa masyarakat wajib mempertahankan eksistensi Bahasa Lampung. Bahasa menurutnya akan menentukan pikiran dan pikiran menentukan Bahasa. Artinya bahasa menjadi wadah dari setiap buah pikir sebuah masyarakat.
Berbagai nilai-nilai pengetahuan tradisi hanya akan terwadahi dan terkomunikasikan melalui bahasa. Dalam konteks Bahasa Lampung, subjek yang mengomunikasikan nilai-nilai tersebut itulah yang disebut manusia Lampung.
Jika Bahasa Lampung punah, seluruh nilai yang dibawanya akan ikut punah. Singkatnya, jika tidak ada lagi penggunaan Bahasa Lampung, maka tidak ada lagi manusia Lampung dan Lampung itu sendiri (dalam konteks budaya).
“Anehnya, belum ada upaya serius dari kita khususnya Pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Hampir tidak ada strategi-strategi ketahanan bahasa di tengah gempuran budaya asing saat ini, seperti Barat dan Korea,” katanya.
Selanjutnya Ari menambahkan, ada banyak cara yang bisa kita lakukan, misalnya dari aspek ekonomi seperti yang terjadi pada Bahasa Inggris.
“Bayangkan jika pemerintah Lampung membuat aturan untuk mewajibkan setiap orang yang ingin melamar pekerjaan baik negeri maupun swasta, untuk punya kemampuan berbahasa Lampung, semacam syarat TOEFL, pastilah orang-orang akan berbondong-bondong belajar Bahasa Lampung karena tuntutan ini,” katanya.
Di akhir acara, Ketua Pelaksana Kegiatan, Novian Pratama berharap agar buah diskusi ini bisa dipetik dan ada tindaklanjut secara individu maupun kolaboratif.
“Di ruang ini kita menyatukan persepsi dan pemikiran, tapi sikap apa yang akan diambil selanjutnya itu kembali ke diri masing-masing. Yang pasti kita harus tetap optimis membuat kebudayaan di Lampung membaik. Kita lakukan apa yang paling mungkin dilakukan. Misalnya seperti Majelis 27an ini yang akan kita gelar kembali di bulan mendatang,” tutupnya.