Jakarta (Lampost.co)— Subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga saat ini masih banyak dimanfaatkan oleh kalangan menengah ke atas.
Karena itu, pemerintah perlu menetapkan langkah mekanisme yang lebih progresif untuk mengendalikan pemberian subsidi tersebut.
“Ada inclussion error di sini. Oleh karena itu, karena sebetulnya ada batasan atau kuota BBM bersubsidi, maka ini perlu mengontrol, mengarahkan, di urus oleh pemerintah bagaimana kemudian mekanismenya. Supaya yang memanfaatkan BBM bersubsidi itu ialah memang kalangan yang berhak,” tutur Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.
Komisi VII Dorong Pembatasan Pembelian BBM Subsidi
Ia menyatakan pembatasan BBM subsidi itu seharusnya lebih menyasar pada orang yang betul-betul membutuhkan.
Begitu juga dengan kendaraan yang betul-betul di asosiasikan atau merupakan representasi konsumen menengah ke bawah.
Seperti kendaraan umum dan sepeda motor. Adapun mobil atau mobil yang mahal semestinya tidak boleh menerima BBM bersubsidi.
“Ini semestinya harus sudah melakukan sejak lama. Supaya subsidi BBM menjadi lebih tepat sasaran dan dampaknya ke fiskal menjadi kuotanya tidak terlewati,” imbuhnya.
Pihaknya mengingatkan, jangan sampai nanti apabila telah di terapkan pembatasan BBM subsidi tersebut justru menimbulkan masalah baru yang tidak kita inginkan.
“Maka, dalam implementasinya tidak perlu buru-buru sebetulnya. Jadi planning dan juga sistemnya secara teknis harus disiapkan dengan matang, termasuk hitung-hitungan bagaimana potensi dampaknya,” jelas Faisal.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyampaikan setidaknya ada alokasi anggaran Rp90 triliun untuk subsidi BBM yang masih salah sasaran.
“Maka, pembatasan subsidi tadi untuk menyelamatkan Rp90 triliun yang masih dinikmati oleh konsumen yang tidak berhak tadi, hanya mekanismenya yang harus dilakukan dengan tepat,” terang Fahmy, Senin, 15 Juli 2024.
Mekanisme pembatasan subsidi bisa saja di sederhanakan. Misalnya, untuk pertalite dan solar di berikan kepada sepeda motor dan kendaraan angkutan orang seperti transportasi umum. Angkutan online, dan kendaraan pengangkut barang-barang sehari-hari.
“Tapi kalau truknya itu dari pemilik perusahaan sawit dan tambang, ya itu enggak boleh (gunakan BBM subsidi). Kemudian pemilik kendaran pribadi. Mobil pribadi yang tidak masuk dalam kriteria tadi harus pindah ke pertamax. Apalagi yang mobil mewah, haram hukumnya membeli pertalite,” kata Fahmy.
Berjalan Pada 2025
Terpisah, Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meragukan wacana pemerintah yang akan melaksanakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi mulai 17 Agustus 2024.
Sebab, sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi akan berjalan pada 2025. Ini sebagaimana tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2025.
Ia pun meminta pemerintah tidak sembarangan melontarkan pernyataan. Sebab, akan membingungkan masyarakat yang sedang berupaya bangkit dari kondisi ekonomi yang sedang sulit.
“Wacana ini kan sudah lama berkembang, karena kita ketahui terjadi ketidaktepatan sasaran yang memicu ketidakadilan dalam distribusi BBM bersubsidi. Orang kaya atau mobil mewah kedapatan masih banyak yang menggunakan BBM bersubsidi,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Mulyanto, BBM bersubsidi ini peruntukkanya bagi masyarakat miskin dan rentan. Akan tetapi, pada kenyataannya pemerintah mengambil sikap pembiaran.
“Sementara Pertamina proaktif dengan aplikasi MyPertamina yang melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi di lapangan. Padahal ini kan aksi korporasi yang tidak ada dasar hukumnya,” lanjutnya.