Surabaya (lampost.co) — Putusan vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan putra anggota DPR RI Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan kekasihnya, tidak berdasar hukum.
“Putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan itu tidak berdasar hukum,” kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno, Kamis, 25 Juli 2024.
Ia menjelaskan maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah dikesampingkan majelis hakim.
“Salah satunya ia mengesampingkan terkait dengan hasil visum et repertum oleh ahli yang mana sebelum memberikan keterangan ahli telah mengangkat sumpah. Kalau kemudian majelis hakim mengesampingkan tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya,” ujarnya.
Ia menambahkan melihat dalam surat dakwaan JPU, ada empat pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, pasal 359 KUHP, dan 351 ayat 1 KUHP.
Dari ketiga pasal itu adalah, korbannya meninggal dunia, sedangkan kalau pasal 351 ayat 1 itu terkait dengan penganiayaan biasa.
“Lah, empat pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil. Dalam persidangan harus ada pembuktian adanya hubungan langsung antara perbuatan terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan. Harus ada hubungan langsung,” ujarnya.
JPU sudah mencobamaksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan terdakwa. Baik saksi, CCTV, maupun visum et repertum.
“Saya membaca dari beberapa media, hasil visum et repertum menyatakan matinya korban itu karena hatinya pendarahan akibat benda tumpul,” ungkapnya.