Jakarta (Lampost.co) — Apple hingga kini belum memberikan kepastian terkait investasi di Indonesia sebagai langkah itu menjadi kunci utama agar iPhone 16 bisa masuk dan terjual secara resmi di pasar Indonesia.
Pengamat hukum bisnis, Rio Christiawan, menjelaskan kekhawatiran terhadap kendala birokrasi menjadi alasan utama Apple ragu untuk berinvestasi.
Ia menilai langkah pemerintah Indonesia yang mendorong Apple mendirikan pabrik di dalam negeri sudah tepat. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut masih terhambat berbagai faktor. “Masalah seperti birokrasi, perizinan, dan pembebasan lahan bisa menjadi alasan investor, termasuk Apple, untuk mundur,” kata Rio.
Ia juga menyoroti masalah ease of doing business (EoDB) yang belum menunjukkan perbaikan signifikan dalam lima tahun terakhir.
Presiden Joko Widodo sempat menargetkan untuk menembus 50 besar dunia masih jauh dari kenyataan meski sempat naik ke peringkat 73. Bahkan, Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
“Ranking EoDB Indonesia stagnan di posisi 73. Ini jadi bukti masalah birokrasi dan regulasi masih menjadi tantangan besar, meski pemerintah berupaya melakukan reformasi,” ujar dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebut langkah pseudo-proteksionisme yang pemerintah terapkan justru menghambat masuknya investasi. Kebijakan itu memproteksi barang impor dengan harapan perusahaan akan berinvestasi langsung di Indonesia.
“Namun, pendekatan pseudo-proteksionisme itu malah menakutkan bagi investor. Mereka merasa regulasi yang terus berubah memberikan ketidakpastian hukum,” kata Bhima.
Ia mencontohkan seringnya perubahan aturan impor, termasuk Permendag 8/2024 sebagai salah satu bukti ketidakpastian yang pelaku usaha hadapi.
Pertimbangan Lain Investasi Apple
Apple juga mempertimbangkan ketersediaan kawasan industri dengan energi baru terbarukan (EBT). Hal itu untuk mendukung proses produksi rendah karbon. Sayangnya, fasilitas itu juga belum tersedia di Indonesia.
“Ketersediaan energi terbarukan di kawasan industri menjadi syarat utama bagi Apple. Sebab, komitmen perusahaan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan,” ujar dia.
Selain itu, keterampilan tenaga kerja Indonesia juga menjadi tantangan. Sebab, tenaga kerja lokal masih kurang terampil daripada Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Infrastruktur pendukung di kawasan industri, seperti logistik dan transportasi, juga belum memadai.
“Kalau mau bikin pabrik, tentu harus ada tenaga kerja terampil yang memadai. Belum lagi masalah infrastruktur dan tingginya biaya logistik yang perlu diperbaiki,” kata dia.