Jakarta (Lampost.co) – Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, berpendapat mengenai presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 0%. Hal itu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berpendapat putusan ini lebih baik diakomodir lewat kodifikasi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada.
Kemudian ia menilai, langkah itu lebih tepat ketimbang penyusunan Omnibus Law Politik oleh DPR dan pemerintah. Apalagi, jika Omnibus Law Politik nanti mengadopsi penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya, model omnibus law bakal menimbulkan kompleksitas baru bagi pengaturan pemilu Tanah Air.
“Omnibus ala Cipta Kerja hanya melakukan perubahan pada sejumlah klausul pada UU yang substansinya saling berkaitan. Tapi tanpa mencabut UU utama,” jelas Titi mengutip Media Indonesia, Minggu, 19 Januari 2025.
Lalu konsekuensinya, Titi menyebut banyak UU yang akhirnya justru membuat publik atau orang awam menjadi susah memahami pengaturan tentang pemilu Indonesia. Sebab, pengaturannya tidak sistematis dan terkonsolidasi dalam satu naskah.
Oleh karenanya, Titi menyarankan pembentuk UU untuk mengatur pemilu dan pilkada dalam satu UU. Seraya mengakomodir putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden 0%. Apalagi, dalam pertimbangan putusan yang lain, MK sudah menegaskan bahwa pilkada adalah pemilu.
“Jadi lebih baik buat UU tentang Pemilihan Umum yang baru. Isinya ada pengaturan tentang pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilu kepala daerah, dan penyelenggara pemilu,” terang Titi.
Lalu ia meyakini, model kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada akan lebih memudahkan untuk terpahami. Karena pengaturannya akan sistematis dan koheren satu sama lain. Dengan demikian, pendidikan politik dan kepemiluan juga jadi lebih mudah terimplementasikan kepada masyarakat.
Terpisah, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera mengatakan. Pihaknya tidak menyoalkan model pengakomodiran putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya, baik Omnibus Law Politik maupun kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada sama-sama baik.
“Pada 2020, kita sudah satukan pembahasan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Kalau keduanya tersatukan, lebih baik,” aku Mardani.