Bandar Lampung (Lampost.co)–Matahari yang terik menggigit seolah tak dirasakan oleh para perempuan di areal penjemuran ikan di Pulau Pasaran. Padahal, tameng mereka hanyalah baju panjang dan topi caping, tanpa skincare pelindung kulit yang biasa digunakan kaum hawa.
Jumat pagi, 13 Januari 2023, cuaca tergolong panas dan menyengat. Namun kondisi itu kian terabaikan sambil mereka ngobrol soal artis Venna Melinda yang tengah tersandung kasus KDRT dengan suami barunya Ferry Irawan.
Jemari tangan para perempun buruh harian itu tak hanti memilih ikan. Satu persatu ikan kering dimasukan kedalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu mirip bakul.
“Kita mah hidup sederhana aja, bisa pulang bawa uang Rp30 ribu sudah cukup. Dari pada artis-artis terkenal, hidup mewah tapi ternyata nggak bahagia, malah dipukulin sama suaminya kayak Vena Melinda,” kata Mun, salah satu perempuan yang menjadi buruh pemilah ikan asin di Pulau Pasaran.
“Iya, kalau liat di tv hidungnya sampe patah dan berdarah. Kasian ya,” saut Prihatin, buruh lainnya.
Sementara di bagian lain, terlihat juga sekelompok ibu-ibu yang tengah membelah ikan teri jenis Jengki yang ukurannya lebih besar ketimbang terni nasi atau teri medan.
Ibu-ibu itu ada yang terlihat duduk menggunakan dingklik (bangku kecil), ada juga yang selonjoran, dan sebagian bersandar di bambu penyangga atap mengelilingi bedek (alas anyaman bambu) ukuran 1,5×1 meter berisi ikan teri asin yang selesai dijemur.
Salah satu buruh, Yani mengatakan baru bekerja lagi setelah libur tiga hari akibat terang bulan, yang membuat nelayan tak melaut. Tapi meski sudah libur tiga hari, tangkapan nelayan hari itu tidak banyak.
“Kalau terang bulan ikannya nggak ada, jadi libur. Baru kerja hari ini tapi juga nggak banyak ikannya, cuaca lagi nggak bagus kayaknya ya. Tangkapan sedikit, bagi-bagi sama ibu yang lain kerjanya,” kata dia.
Yani sudah lima tahun bekerja sebagai buruh penjemur dan pembelah ikan teri untuk mencari uang tambahan. Bersama rekan buruh penjemur ikan teri lainnya, bisa bekerja enam hari dalam seminggu kala musim kemarau.
Sembari menunjukan wadah ikan teri yang sudah dibelah, Yani mengatakan upah yang diberikan bosnya yakni Rp3 ribu per kilonya. Jadi satu hari, Ia bisa membawa pulang uang Rp30 ribu sampai Rp50 ribu.
“Kerjanya dari jam 7 pagi sampai selesai, biasanya selesai sore sebelum ashar. Alhamdulillah bisa buat bantu-bantu suami,” katanya.
Yani mengatakan, upah dari pekerjaan itu digunakan untuk bayar sekolah anak-anaknya, sesekali digunakan buat jajan bakso di pertigaan jalan. Untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, menggunakan uang hasil kerja suaminya.
“Suami saya kerjanya buruh juga tapi buruh bangunan, penghasilannya nggak menentu, jadi saya harus bantu juga. Jadi saling bantu, biar harmonis setiap hari nggak ada yang kurang masalah ekonomi, disyukuri,” ujarnya.
Bahkan Yani mengaku sejak kerja jemur dan belah ikan teri bisa mengaktifkan kembali BPJS Kesehatan yang sempat ditangguhkan karena tidak membayar selama satu tahun lebih.
“Saya ingin berpenghasilan dari pekerjaan apapun yang penting halal. Alhamdulillah juga bisa bayar iuran BPJS Kesehatan nggak telat lagi, nggak denda lagi,” kata Yani.
Sri Agustina