Banjar (lampost.co)–Pria kurus bertubuh jangkung berdiri dekat sebuah pohon maha besar berdiameter 2,25 meter, setinggi 50 meter, menjulang kokoh di Hutan Hujan Tropis Kahung, Desa Belangian di Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Senyum menghias wajah keriputnya, yang berapi-api mengisahkan riwayat pohon binuang laki berusia lebih dari 70 tahun di sampingnya.
“Ada tanda khas pohon itu ‘laki-laki’. Bisa dilihat dari akar gantung yang menyembul, seperti pentolan tumpul di sisi bawah pohon,” tutur Bambang Susilo dari Seksi Perlindungan Hutan UPT Tahura Sultan Adam Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan di hutan desa setempat, Rabu, 21 Agustus 2024.
Pada momen itu, puluhan jurnalis dari berbagai provinsi di Indonesia tengah melincah ke salah satu desa wisata situs Geopark Meratus rute timur nomor 36.
Pesona hutan hujan tropis semakin kuat dengan rimbunnya pepohonan besar seperti sereh putih, beringin, kariwaya, hingga pohon mahang. Udara sejuk dan suara burung memanjakan para jurnalis yang sibuk menyimak penjelasan Bambang, atau bahkan mengabadikan pesona hutan perawan itu dengan kamera ponsel.
Semangat Bambang menjelaskan ‘karibnya’ itu dengan mengambil sebuah pohon muda dan mematahkan pucuknya. Dari dalam batang ternyata bermunculan kawanan semut hitam kecil berjejer. “Pohon mahang adalah salah satu pohon hujan tropis paling unik karena di dalam batangnya hidup semut hitam. Entah bagaimana semut itu bisa muncul dan hidup, padahal tidak ada lubang di batang mahang,” ujarnya.
Pohon yang bisa hidup selama puluhan tahun itu telah menjadi objek penelitian ilmuwan dari dalam dan luar negeri. “Sudah ada beberapa periset mancanegara yang tertarik mempelajari mahang hingga binuang laki. Hutan ini sudah menjadi primadona peneliti dunia,” ujarnya.
Selain pepohonan, hutan tersebut menyimpan geosite berupa bebatuan besar yang terbentuk sejak jutaan tahun lalu yang berada di dekat Sungai Lua Dibatu. “Bebatuan hitam itu merekam riwayat geologi jutaan tahun lalu. Bahkan hutan ini juga menjadi tempat konservasi satwa dilindungi seperti burung haruwei, macan, beruang madu, hingga rusa,” kata dia.
Fakta istimewa berikutnya, lanjut Bambang, ada batu besi yang bisa membesar dengan sendirinya di hutan ini. “Batu besi ada banyak tersebar di hutan ini. Saya menjadi saksi selama 35 tahun bekerja di sini yang melihat langsung batu-batu besi ini bertumbuh. Membesar. Ini adalah keunggulan Hutan Hujan Tropis Kahung yang akan menjadi magnet kuat bagi para ilmuwan dunia,” ujarnya.
Dengan kekayaan hutan yang amat besar, berikut berbagai keunikan hayati di dalamnya, lanjut Bambang, maka Geopark Meratus ini amat layak menyandang status UNESCO Geopark Global. “Dengan pemberitaan yang masif maka informasi penting tentang situs ini bakal menarik semakin banyak wisatawan dunia,” kata Bambang.
Kemaslahatan
Desa Belangian terbentang seluas 24.000 hektare, berpenduduk 350 jiwa. Ada 105 KK yang menghuni desa tersebut. Mayoritas ialah petani, dan peternak. Namun, penduduk juga berperan aktif dalam geliat roda ekonomi yang timbul dari keindahan alam setempat.
Kepala Desa Belangian, Aunul Khoir mengatakan pihak desa melibatkan seluruh masyarakat dalam menjaga kelestarian alam, hingga memetik buah dari efek ekonomi dari sektor pariwisata. “Kami merangkul warga untuk turut menjaga pepohonan serta fauna hutan. Tiap keluarga mendapat tanggung jawab untuk menjaga pohon tertentu di hutan. Jika ada sesuatu dengan pohon tersebut, misalnya rusak atau hilang, maka pihak bersangkutan yang kami minta penjelasan,” kata dia.
Sejauh ini, kepercayaan desa terhadap warga untuk menjaga flora dan fauna hutan, berdampak besar pada keamanan dan keberlangsungan hutan. Ia mengeklaim, tidak ada perambah atau oknum nakal yang bisa merusak hutan. Hal itu berkat kepedulian segenap warga dalam menjaga kekayaan alam tersebut. “Warga juga melakukan pemeliharaan terhadap situs Geopark Meratus ini,” ujarnya.
Aunul menjelaskan pihaknya membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Api yang aktif menjaga lahan dan hutan dari kebakaran. “Pada saat kemarau, mereka bergiliran memantau titik api,” kata dia. Di daerah itu juga terdapat destinasi wisata lainnya berupa arung jeram, empat air terjun setinggi 24 meter, puncak Kahung Besar setinggi 1.456 MBPL. Rata-rata ketinggian bukit di sana 1.000 MBPL, belum terjamah pendaki.
Kerja sama menjaga alam itu memberi dampak positif terhadap kunjungan wisatawan baik lokal, nasional, hingga mancanegara. “Sejak menjadi situs Geopark Meratus ada pihak universitas meneliti dan berwisata ke sini. Ada juga kelompok pecinta alam dari Australia, Jepang, dan Swedia yang melakukan penelitian,” ujarnya.
Dampak kunjungan wisatawan dirasakan langsung oleh masyarakat. Mulai dari pengrajin wastra sasirangan ecoprint, porter, guide, ojek wisata, hingga kaum perempuan yang menyuplai makanan. Bahkan, ada paket menginap di homestay dengan biaya hanya Rp100.000 per malam, sudah mendapatkan makan tiga kali sehari.
Srikandi Penjaga Budaya
Selain alam, warga juga menjadi penjaga budaya wastra sasirangan, khas Bumi Borneo. Utamanya, kalangan perempuan baik tua-muda, aktif sebagai pengrajin sasirangan. Anggota Belangian Sasirangan, Rahmi, mengaku memanfaatkan dedaunan hutan untuk pewarnaan kain.
Pewarnaan kain cara ponding dan steam. “Pakai daun jati, jarak ulung, korsen, jarak kepyar, hingga lanang,” ujar perempuan usia 30an itu. Di rumahnya, ia membuat sasirangan ecoprint berbahan katun dan sutra. Per lembar dibanderol Rp400.000. Ia mengisahkan, saat kunjungan Pimpinan Pusat dan Daerah Muhammadiyah awal tahun ini, sebanyak 28 kaos motif sasirangan, berikut kainnya, laku diborong wisatawan.
Begitu pula pada Juni lalu, saat kunjungan Bupati Banjar. Ia dan para pengrajin meraup laba dari pelancong. Ia mengaku girang menyambut wisatawan karena dari momen itulah bisa menjajakan sasiarangan kebanggan daerahnya.
“Kami masih cukup sulit menjual secara luas. Kendala pemasaran. Promosi masih terbatas, dari muntung ke muntung, artinya dari mulut ke mulut,” ujarnya. Meski sudah mulai memosting di Instagram dan WA, ia mengaku amat membutuhkan bantuan pemerintah dalam memperluas pemasaran secara digital dan marketplace.
Dimotori BUMDes
Perwakilan Pokdarwis, Hasriyadi, menjelaskan desa wisata sudah berdiri sejak November 2013. Rute yang banyak dipilih adalah dari Masjid Al Jihad Belangian, yang berada sekitar 100 meter dari Dermaga Desa Belangian.
Ada sekitar 50 orang pengemudi ojek wisata yang siap mengantarkan pelancong hingga ujung jalan semen di dalam hutan, sepanjang 7 km hingga sampai di Sungai Lua Dibatu. “Ojek wisata menjadi mata pencarian warga di sini yang dikelola secara profesional oleh BUMDes. Sistem kerjanya sama-sama menguntungkan,” ujarnya.
Pengemudi ojek wisata, Edrian, mengaku dapat meraup hingga Rp500.000 dalam satu pekan pada Juli lalu. “Saat musim liburan, kami kedatangan banyak wisatawan,” ujar pria 24 tahun itu. Sebagai pemuda asli kelahiran Desa Belangian, ia menaruh asa pada pemerintah.
“Sekarang makin ramai kunjungannya. Sering kali saat saat bonceng, ada wisatawan yang bertanya soal pohon-pohon di hutan ini. Ada yang bisa saya jawab, ada pula yang tidak,” ujarnya. Edrian mengaku membutuhkan edukasi tentang keanekaragaman hayati berikut cara menyampaikannya dengan benar terhadap pelancong.
Ia juga mengaku sangat mendukung kemajuan Geopark Meratus menuju warisan dunia demi memajukan tanah kelahirannya. “Saya bahagia mencari rezeki di desa ini. Semoga dengan adanya peningkatan status itu nantinya menjadi kesempatab desa ini menjadi semakin maju dan dikenal dunia, amin,” tutur Edrian