Bandar Lampung (Lampost.co) — Provinsi Lampung kembali menegaskan posisinya sebagai jantung kebangkitan kopi robusta nasional. Melalui kegiatan Jamboree Petani Kopi 2025, para petani, pendamping, dan pegiat perkopian bersatu dalam gerakan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas kopi rakyat hingga mencapai 3 ton per hektare.
Kegiatan ini tergagas oleh Yayasan Pendidikan Pengembangan Perkopian Indonesia (KAPPI) bekerja sama dengan komunitas KOPISTA dan pendamping petani Karjo Matajat. Jamboree ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kapasitas petani kopi Lampung dalam menghadapi tantangan produktivitas dan daya saing global.
Produktivitas Masih Rendah, Tapi Potensi Besar
Indonesia saat ini menempati posisi penghasil kopi terbesar keempat di dunia, setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Namun, untuk segmen kopi robusta, produktivitas nasional masih tertinggal jauh. Dibandingkan Vietnam, yang menjadi produsen unggulan, Indonesia perlu meningkatkan produktivitasnya.
Di Indonesia, rata-rata hasil panen robusta dari kebun rakyat hanya sekitar 0,7 ton per hektare, jauh di bawah potensi maksimal yang bisa mencapai 3 ton. Perbedaan ini terjadi karena keterbatasan modal, teknologi, serta sistem pelatihan petani yang belum terintegrasi.
“Kami ingin menegaskan bahwa peningkatan produktivitas dimulai dari kebun, dari petani sendiri,” ujar Karjo Matajat, pendamping petani kopi Lampung sekaligus penggagas Gerakan PROMIN3TON (Produktivitas Minimal Tiga Ton).
“Dengan pemangkasan yang tepat, pemupukan sesuai dosis, dan manajemen cabang produktif yang baik, target 3 ton per hektare sangat bisa dicapai,” tambahnya.
Melalui pendampingan dan program lapangan, KAPPI dan KOPISTA berhasil mendorong hasil panen petani Lampung naik signifikan, dari rata-rata 0,7 ton menjadi 2 ton per hektare, dan menargetkan 3 ton mulai tahun 2026.
Lampung Jadi Barometer Kebangkitan Robusta Nasional
Lampung memiliki peran strategis dalam peta perkopian Indonesia. Provinsi ini menjadi sentra kopi robusta terbesar di Tanah Air, dengan agroklimat ideal serta sejarah panjang perdagangan kopi rakyat. Struktur lahannya yang terdominasi petani kecil menjadikan Lampung lokasi yang tepat untuk melahirkan model pengelolaan kopi rakyat modern.
Gerakan Jamboree Petani Kopi membawa semangat “Dari Lampung untuk Indonesia”, menegaskan tekad menjadikan Lampung barometer produktivitas kopi rakyat di tingkat nasional.
“Mulai tahun 2026, kami ingin Lampung dikenal bukan hanya sebagai penghasil robusta, tetapi sebagai provinsi percontohan petani kopi berilmu, berdaya, dan berdaya saing global,” kata Karjo.
Sinergi Riset, Pelatihan, dan Akses Pembiayaan
KAPPI menilai peningkatan produktivitas kopi tidak bisa hanya mengandalkan semangat petani. Selain itu, juga membutuhkan dukungan riset, akses pembiayaan, serta kemitraan industri. Model pengelolaan terintegrasi seperti penerapan di Vietnam menjadi contoh keberhasilan. Contoh ini bisa teradaptasi di Indonesia.
Jamboree Petani Kopi di Lampung diharapkan menjadi titik balik bagi penguatan ekosistem perkopian nasional. Ini harus berpihak pada petani kecil. Melalui pendampingan berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, dan teknologi pertanian yang tepat guna, produktivitas 3 ton per hektare diyakini bukan lagi sekadar mimpi. Melainkan, target yang realistis.








