Jakarta (Lampost.co)–Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri mengungkap tiga produsen dan lima merek beras yang dugaannya tidak memenuhi standar mutu. Dugaan ini menjadi sorotan publik setelah hasil penyelidikan menunjukkan adanya praktik pengemasan ulang beras biasa dengan label premium.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) sekaligus Kepala Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf, menyebutkan tiga produsen. Mereka PT PIM dengan merek Sania, PT FS dengan merek Ramos Merah, Ramos Biru, dan Ramos Pulen, serta Toko SY yang memproduksi beras Jelita dan Anak Kembar.
“Telah tertemukan dugaan tindak pidana. Oleh karena itu, status penyelidikan kami naikkan ke tahap penyidikan,” kata Helfi dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025.
201 Ton Beras Disita sebagai Barang Bukti
Satgas Pangan juga menyita 201 ton beras sebagai barang bukti dalam kasus ini. Beras tersebut terdiri dari kemasan premium 5 kilogram sebanyak 39.036 pieces dan 2,5 kilogram sebanyak 2.304 pieces.
“Sampai dengan pagi hari ini, barang bukti yang sudah kita sita yaitu beras total 201 ton,” ungkap Helfi.
Beras dari para produsen tersebut telah dikirim ke laboratorium untuk memastikan kesesuaiannya dengan standar mutu yang tertera pada label kemasan.
Baca Juga: Satgas Pangan Harus Bertindak Cepat soal Isu Beras Oplosan
Sementara itu, menanggapi kasus ini, Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan mendesak pemerintah bersikap terbuka dan tegas dalam menangani perusahaan-perusahaan yang terlibat.
“Pemerintah tidak boleh menutup-nutupi identitas pelaku, apalagi jika yang terlibat adalah perusahaan besar. Ini menyangkut kepentingan masyarakat luas,” ujar Daniel, Rabu, 23 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa praktik pengoplosan beras mencederai hak konsumen dan petani. Pemerintah harus menegakkan hukum secara adil dan memberikan sanksi maksimal, termasuk pencabutan izin usaha jika terbukti bersalah.
Mentan: Kerugian Akibat Oplosan Bisa Capai Rp99 Triliun
Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR mengungkapkan, praktik pengoplosan beras telah menyebabkan kerugian besar, baik terhadap negara maupun masyarakat.
“Kalau ini dihitung selama setahun, potensi kerugiannya mencapai Rp99 triliun. Apalagi kalau berlangsung lima sampai sepuluh tahun, angkanya bisa lebih besar,” ujar Amran.
Ia menjelaskan, dua jenis kerugian yang ditimbulkan adalah kerugian negara terkait program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), serta kerugian masyarakat yang membeli beras rendah mutu dengan harga tinggi.
“Ini beras biasa yang hanya diganti kemasan lalu dijual sebagai beras premium. Bukti-bukti foto sudah kami serahkan ke aparat penegak hukum,” tambahnya.
Sementara itu, Daniel Johan menegaskan, kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk mereformasi sistem tata niaga pangan nasional. Ia mengingatkan bahwa lemahnya pengawasan akan membuka celah bagi praktik curang serupa di masa mendatang.
“Kami berharap ini menjadi yang terakhir. Pemerintah harus segera memperbaiki sistem distribusi pangan agar konsumen dan petani tidak terus dirugikan,” pungkasnya.