Jakarta (Lampost.co)— Perlunya gerakakan bersama untuk mewujudkan ekonomi sirkular sebagai bagian upaya untuk menekan dampak pemanfaatan fast fashion di masyarakat.
“Fenomena fast fashion di masyarakat yang memanfaatkan pakaian dalam rentang waktu yang pendek. Hal ini berpotensi menghasilkan limbah yang berdampak buruk pada lingkungan,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat di Denpasar, Bali,Rabu 17 Juli 2024.
Menurut Lestari, limbah fashion memicu polusi air, tanah, dan penghasil emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada perubahan iklim.
Pemkot Usul Dua Raperda Pasar dan Pengelolaan Limbah Domestik
“Di satu sisi, industri ini berupaya tumbuh. Di sisi lain juga terdapat tuntutan adaptasi pada ancaman perubahan iklim akibat pencemaran lingkungan,” tambah Rerie, sapaan akrab Lestari.
Rerie berharap para pemangku kepentingan baik tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat memiliki kepedulian yang sama terhadap ancaman krisis lingkungan akibat fast fashion itu.
“Kita harus menyadari bahwa perilaku
merusak yang kita biarkan untuk mengikuti tren dapat merusak ekosistem lingkungan hidup. Tempat kita menjalani keseharian,” tegasnya.
Perencana pada Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Asri Hadiyani, mengungkapkan, di dunia saat ini berkembang isu lingkungan yang besar seperti perubahan iklim. Polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut Asri Hadiyani, penggunaan material yang tidak berkelanjutan akan berkontribusi pada 70% emisi gas rumah kaca dan 90% potensi kehilangan aneka keragaman hayati global.
Pihaknya juga menegaskan manusia cenderung membuang pakaian rata-rata setelah tujuh kali pakai. Selain itu, tambahnya, tiga dari lima pakaian bekas pakai berakhir di tempat pembuangan akhir.
Menurutnya, Indonesia masuk 10 besar negara penghasil tekstil terbesar di dunia. Dengan kondisi tersebut, tambah Asri Hadiyani, harus menerapkan praktik ekonomi sirkular dengan mendorong penggunaan material dan sumber bahan baku yang lebih efisien.
Pemanfaatan barang reconsume agar masa pakai yang lebih panjang harus masyarakat upayakan.
Tantangan yang kita hadapi saat ini setelah masa pakainya habis, pakaian atau produk tekstil lainnya akan menjadi apa, dan kita apakan.
Penyediaan drop box untuk pengumpulan pakaian bekas pakai, merupakan upaya yang bisa terwujud dengan dukungan banyak pihak. Seperti produsen tekstil yang menghasilkan pakaian.
Pemerintah saat ini juga sudah memiliki peta jalan pengembangan ekonomi sirkular pada tekstil.
Gaya Hidup
Chief Brand Officer Akademi Femina, Petty S Fatimah, menilai berpakaian itu merupakan bagian dari gaya hidup atau cara hidup yang kita pilih pada keseharian.
Gaya hidup, tegas Petty, sangat mempengaruhi pilihan-pilihan seseorang dalam mengonsumsi kebutuhan sehari-hari mereka, termasuk soal pakaian.
“Apakah masyarakat memahami pilihan pola konsumsi pakaiannya dapat mempengaruhi lingkungan? ” ujar Petty.
Sehingga masyarakat harus memiliki kesadaran dampak yang akan timbul terkait pilihannya.
Masyarakat harus mendapatkan pemahaman terkait cost per used. Fenomena fast fashion yang mengadopsi tren itu merupakan langkah yang kurang bijaksana.
Ia mengakui, thrifting itu bagian dari ekonomi sirkular. Namun thrifting yang terjadi di Indonesia saat ini sudah melampaui batas dan mayoritas produknya sampah.
“Fenomena fast fashion akan selalu ada sehingga harus kita kelola dengan lebih bertanggung jawab,” jelasnya.