Bandar Lampung (Lampost.co) — Perasaan kemelut masih membekas bagi Malika (bukan nama sebenarnya), korban kejahatan keuangan dengan modus penyalahgunaan data pribadi. Sesalnya pun berkepanjangan hingga kini, ia tak menyangka jadi korban manipulasi teman dekatnya sendiri, hingga dengan sukarela meminjamkan data pribadi miliknya.
Perempuan itu terkejut saat tiba-tiba mendapat teror dari para penagih pinjaman atau debt collector. Rupanya, sahabatnya, dulu, yang ia kenal di bangku SMA itu menggunakan data pribadinya untuk pinjaman online (Pinjol), yang kini namanya sudah dihaluskan menjadi pinjaman daring (Pindar).
Jumlah tagihannya membengkak hingga 30 juta Rupiah, jika diakumulasikan dengan bunga pinjaman. Angka ini sangat besar, apalagi bagi seorang mahasiswa. Data Malika terdaftar melakukan pinjaman di beberapa perusahaan Pinjol, baik yang legal maupun ilegal. Jumlah tagihannya terus meningkat setiap hari, karena bunga pinjaman yang besar. Sementara temannya, entah hilang kemana.
Hari-hari Malika dipenuhi dengan perasaan frustasi, bahkan membuka mulut soal kejadian ini ke keluarganya pun ia benar-benar tak berani.
“Entahlah, nggak tau lagi. Mentalku bener-bener hancur, tiap hari diteror, tapi aku juga takut mau cerita. Malu juga, karena aku memang salah kasih data aku ke orang,” ucap Malika.
Karena tak tahan dengan teror itu, tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk mengambil pinjaman daring legal. Niatnya untuk menutup hutang-hutang temannya itu, tapi ternyata jumlah hutang itu terlampau besar, hanya sebagian kecil yang berhasil ia lunasi dari uang pinjaman baru Pindar legal. Nahas, bukan bebannya jadi lebih ringan, ia malah makin terbelenggu hutang Pinjol. Pinjaman temannya belum lunas, ditambah pinjaman baru yang ia ambil.
“Aku nggak pikir panjang waktu itu, karena niatnya pengen nutup yang dari Pinjol ilegal, soalnya bunganya besar banget. Tapi nggak ketutup juga dengan jumlah yang udah aku pinjem di Pinjol resmi,” tuturnya.
Makin jadi ironi, teror debt collector bukan hanya lewat telepon atau pesan bernada ancaman. Malika bahkan didatangi langsung di alamat rumahnya hingga dipermalukan di media sosial. Bahkan, saat itu yang jadi sasaran bukan cuma dirinya, Ayahnya juga ikut terseret dan diteror agar segera melunasi pinjaman atas nama Malika.
Para debt collector ini seolah menguasai dan sangat paham akan informasi Malika hingga keluarganya. Mulai dari profesi Ayahnya, daftar kenalannya, hingga hal detail pribadi lainnya. Tak masuk akal bagi Malika.
“Kacau banget, akhirnya keluarga tahu. Bahkan Ayah juga ikut ikutan kena. Jadi banyak yang komen di akun instagram tempat kerja ayah, yang bilang kalau anaknya punya hutang banyak agar segera dilunasi. Parah banget,” kata Malika dengan raut frustasi.
Akhirnya, mau tak mau, keluarganya melunasi seluruh pinjaman daring atas nama Malika demi terhindar dari tekanan debt collector. Muak, sudah rugi materiel, harus rugi secara mental juga, tutupnya
Gap Literasi dan Inklusi Keuangan
Kejahatan keuangan yang kian marak di era kemudahan akses digital dipantik oleh berbagai faktor. Pengamat Ekonomi Universitas Lampung (Unila), Marselina Djayasinga mengungkapkan, faktor tersebut antaralain masih rendahnya literasi keuangan, modus kejahatan yang kian beragam, hingga mental instan dan gaya hidup konsumtif masyarakat.
Menyoroti kasus yang terjadi pada Malika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila itu menilai hal tersebut akibat rendahnya literasi keuangan dan kurangnya kesadaran akan pentingnya privasi atas data pribadi.
“Literasi keuangan masyarakat kita itu masih rendah. Mereka punya akses ke berbagai produk keuangan digital, tapi malas mencari tahu lebih dalam soal produk itu,” ujarnya.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan indeks literasi keuangan sebesar 66,46 persen dan indeks inklusi keuangan 80,51 persen.
Angka tersebut meningkat dari hasil survei di tahun 2024 dengan indeks literasi keuangan 65,43 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen. Data ini memaparkan, indeks inklusi keuangan meningkat signifikan, sementara indeks literasi keuangan hanya tumbuh tipis.
Kondisi gap antara indeks literasi dan inklusi inilah yang dinilai Marsel sebagai celah jurang kejahatan keuangan. Rendahnya literasi membuat masyarakat tak dapat membedakan jenis-jenis produk keuangan yang legal dan ilegal. Belum lagi, kondisi ini diperparah dengan rendahnya kesadaran menjaga data pribadi di dunia digital.
Meskipun akses terhadap internet kian meluas, dirinya menilai pemanfaatannya masih sangat minim untuk digunakan sebagai sarana belajar tentang keuangan. Peningkatan literasi keuangan sangat mendesak dilakukan untuk meminimalkan risiko kejahatan keuangan. Dibutuhkan kerja aktif berbagai pihak termasuk OJK, Lembaga Jasa Keuangan (LJK), maupun pihak lainnya untuk memasifkan kegiatan edukasi.
“Masyarakat kita sangatlah rentan. Karena itu, harus ada upaya yang terus dilakukan untuk meningkatkan literasi keuangan,” tuturnya.
Marsel menambahkan, rendahnya literasi keuangan akan menimbulkan dampak meluas. Bukan hanya dampak materiel maupun psikis bagi korban, bisa juga meluas pada timbulnya tindak kriminalitas hingga persoalan sosial lainnya.
Tren Pengaduan Kejahatan Keuangan Meningkat
Data OJK Lampung mengungkap, tren jumlah pengaduan masyarakat Lampung terkait kejahatan keuangan menunjukkan peningkatan, meliputi pinjol ilegal, penipuan, hingga perilaku petugas penagihan. Pada tahun 2024, jumlah aduan tersebut tercatat sebanyak 499 aduan. Sementara pada Januari hingga September 2025 saja, jumlah aduan terkait kejahatan keuangan oleh masyarakat Lampung telah mencapai 589 aduan.
Kepala OJK Lampung, Otto Fitriandy menyebut, dari berbagai jenis laporan yang masuk, scam merupakan jenis aduan yang mendominasi.
“Kebanyakan aduan itu soal scam. Ini laporan dari berbagai usia, mulai dari anak muda bahkan orang tua. Bahkan banyak juga yang terkena modus love scamming,” jelasnya.
Selain itu, masyarakat juga banyak memberi laporan tentang perilaku petugas penagihan. Otto mengingatkan masyarakat untuk memahami hak-hak konsumen saat berhadapan dengan penagihan pinjaman. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 60 dan Pasal 62 POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Menurutnya, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu kredit yang berlaku. Proses penagihan tidak boleh dilakukan dengan ancaman, kekerasan, maupun tindakan yang mempermalukan konsumen.
“Penagihan juga tidak boleh menggunakan tekanan fisik maupun verbal. Hanya bisa dilakukan kepada konsumen yang bersangkutan, tidak kepada keluarga atau pihak lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, praktik penagihan harus memperhatikan batasan yang jelas agar tidak bersifat mengganggu. Penagihan dilakukan di alamat yang tercantum sebagai domisili konsumen, bukan di tempat lain yang bisa merugikan privasi.
Selain itu, penagihan hanya boleh dilakukan pada hari kerja, Senin hingga Sabtu, di luar hari libur nasional, dengan rentang waktu pukul 08.00-20.00 waktu setempat. Hal-hal tersebut diatur untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap konsumen.
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan merupakan salah satu peran OJK. Lembaga negara ini berperan dalam hal tindakan preventif, pelayanan pengaduan, pembelaan hukum, dan regulasi melalui instrumen peraturan OJK untuk perlindungan konsumen. Salah satunya dengan penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa dan Keuangan. Terbitnya aturan ini menjadi langkah OJK dalam memperkuat perlindungan konsumen dan masyarakat di lingkup jasa keuangan.
Peraturan ini juga mempertegas kewenangan OJK dalam pengawasan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam mendesain, menyediakan dan menyampaikan informasi, memasarkan, membuat perjanjian dan memberikan layanan atas produk atau layanan, serta melakukan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa. Market conduct tersebut diharapkan mampu menjaga sekaligus meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap PUJK.
Adapun prinsip-prinsip perlindungan konsumen meliputi edukasi yang memadai, transparansi informasi dan keterbukaan, serta perilaku bisnis yang bertanggung jawab. Kemudian persaingan sehat, penegakkan kepatuhan, dan penanganan pengaduan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Serta perlindungan privasi, data, dan aset konsumen.
Guna meningkatkan perlindungan pada konsumen, dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti). Satgas ini adalah wadah koordinasi beberapa kementerian dalam pencegahan dan penanganan dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi. Secara nasional, sejak Januari hingga September 2025, sebanyak 1.556 entitas pinjaman online illegal dan 284 entitas investasi ilegal telah diblokir.
Selain itu, Pusat Penanganan Penipuan Transaksi Keuangan atau Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat sejak peluncuran pada November 2024 hingga 30 September 2025 telah menerima 274.772 laporan. Dari jumlah laporan tersebut, total kerugian dana yang dilaporkan mencapai Rp6,1 triliun, dan total dana korban yang sudah diblokir sebesar Rp374, 2 miliar.
Penguatan Literasi Keuangan
Peningkatan literasi dan inklusi keuangan menjadi salah satu strategi yang menjadi pilar penyokong dalam peta jalan pengawasan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) 2023-2027. Strategi peningkatan literasi keuangan dilakukan OJK melalui pengembangan infrastruktur keuangan, program edukasi masif, maupun edukasi tematik.
Otto menambahkan, Gerakan Nasional Cerdas Keuangan Nasional (Gencarkan) juga digagas untuk mengakselerasi peningkatan angka literasi keuangan. Prinsip program ini menekankan pada kolaborasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
Di Lampung, indeks literasi keuangan pada tahun 2023 tercatat sebesar 61,24 persen, dan indeks inklusi keuangan 72,47 persen. Otto menjelaskan, Angka ini terus didorong dengan sejumlah program penguatan literasi keuangan oleh OJK maupun stakeholder lain yang terlibat.
Program-program tersebut seperti implementasi Gencarkan secara aktif, mulai di tingkat sekolah, emak-emak, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN). Upaya perluasan peningkatan literasi keuangan ini diharapkan mampu menyasar berbagai segmen usia.
“Kami juga kolaborasi dengan LJK agar jangkauan edukasi literasi keuangan semakin meluas di Lampung. Ini komitmen kita untuk memperkecil gap antara literasi dan inklusi keuangan,” pungkasnya.








