Jakarta (Lampost.co) — Indonesia tercatat sebagai negara dengan angka kasus penipuan online (scam) tertinggi di dunia. Catatan itu muncul sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk Indonesia Anti Scam Centre (IASC) pada November 2024.
Hingga September 2025, IASC menerima 274.722 laporan penipuan digital, menjadikan Indonesia menempati posisi pertama secara global. Angka itu jauh melampaui Amerika Serikat (AS) yang hanya mencatat 4.324 aduan sepanjang periode 1 Januari 2024 hingga 30 September 2025.
Setelah Indonesia, terdapat Malaysia dengan 253.583 laporan (periode 12 Oktober 2022–3 September 2025). Lalu Kanada dengan 138.197 kasus, Hongkong 65.240 kasus, dan Singapura 51.501 kasus.
Dari sisi kerugian, Indonesia juga menduduki peringkat pertama. Total dana yang raib akibat berbagai modus penipuan daring mencapai Rp6,1 triliun sejak IASC berdiri hingga 30 September 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengatakan angka sebenarnya kini menembus Rp7 triliun.
“Dari nilai Rp6,1 triliun, dana yang berhasil terblokir baru sekitar Rp374,2 miliar atau 6,13% dari total kerugian,” ujar Friderica.
Ia menjelaskan banyak korban berasal dari kelompok masyarakat yang belum melek literasi digital dan keuangan. Namun, tidak sedikit pula korban berasal dari kalangan yang teredukasi secara finansial.
Menurut dia, tingginya angka penipuan online menunjukkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia masih rendah. Banyak warga yang belum mampu mengenali pola penipuan, mulai dari investasi bodong, phising, hingga pinjaman online palsu.
“Masih banyak masyarakat yang belum waspada. Padahal modus pelaku makin canggih, mulai dari impersonasi lembaga resmi sampai manipulasi data pribadi,” jelasnya.
Perkuat Kolaborasi dengan Lembaga Lain
OJK pun kini memperkuat kerja sama lintas lembaga, termasuk dengan Polri dan penyedia layanan keuangan digital untuk mempercepat pemblokiran rekening pelaku penipuan. “Untuk saat ini, kerja sama fokus pada percepatan blokir rekening pelaku scam,” kata dia.
Namun, OJK juga tengah mempelajari sistem penegakan hukum di negara lain yang lebih tegas terhadap pelaku kejahatan digital.
“Ke depan kami ingin meniru negara lain, misalnya pelaku scam yang terlacak tidak bisa menggunakan transportasi publik atau layanan keuangan apa pun,” tambahnya.
Tingginya kasus scam di Indonesia menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat keamanan siber nasional. Semakin meluasnya adopsi layanan digital membuat risiko penipuan daring pun meningkat.
OJK berharap IASC bisa menjadi garda depan dalam melindungi konsumen keuangan digital dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak mudah tergiur iming-iming keuntungan cepat.
Menurut dia, keberhasilan pemberantasan scam tidak hanya bergantung pada aparat, tetapi juga kedisiplinan masyarakat dalam menjaga data pribadi dan berhati-hati saat bertransaksi digital.
“Literasi digital dan keuangan harus berjalan seiring. Masyarakat perlu lebih kritis, karena pelaku semakin lihai memanfaatkan teknologi,” tutupnya.








