Bandar Lampung (Lampost.co) — Kemudahan akses digital ternyata membawa sisi gelap bagi masyarakat modern. Di balik meningkatnya inklusi keuangan, kejahatan finansial justru kian marak.
Pengamat Ekonomi Universitas Lampung (Unila), Marselina Djayasinga, menilai salah satu pemicunya adalah rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia.
“Literasi keuangan masyarakat masih rendah. Mereka punya akses ke berbagai produk keuangan digital, tapi malas mencari tahu lebih dalam soal produk itu,” ungkap Marselina, yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di angka 66,46 persen. Sedangkan, indeks inklusi keuangan mencapai 80,51 persen.
Meski meningkat dari 2024, masing-masing 65,43 persen dan 75,02 persen, tetapi kesenjangan antara literasi dan inklusi masih cukup lebar.
Marselina menilai gap itu menjadi “jurang kejahatan keuangan”. Banyak masyarakat mudah mengakses produk keuangan digital tanpa memahami legalitas dan risikonya.
Selain itu, kesadaran menjaga privasi data pribadi masih rendah, membuat masyarakat kian rentan terhadap penipuan online dan penyalahgunaan data. “Masyarakat sangat rentan sehingga harus ada upaya untuk meningkatkan literasi keuangan,” tegasnya.
Menurut dia, rendahnya literasi keuangan bukan hanya berisiko menimbulkan kerugian materiel dan psikis. Namun, juga bisa memicu tindak kriminalitas dan persoalan sosial yang lebih luas.
Ia menekankan, perlu kerja kolaboratif dari OJK, lembaga jasa keuangan (LJK), hingga lembaga pendidikan untuk memasyarakatkan edukasi finansial.
Pemanfaatan internet semestinya tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga menjadi sarana belajar memahami pengelolaan keuangan secara bijak.








