Bandar Lampung (Lampost.co) — Sehelai kain kanvas putih menjadi sahabat Teguh Joko Dwiyono setiap harinya. Sebatang tiang berdiri menyangga sebilah papan berukuran 40 x 60 sentimeter sebagai alas bahan untuk melukis tersebut. Namun, tidak terlihat berbagai warna cat yang tertuang di atas mangkuk untuk mewarnai kanvas layaknya pelukis pada umumnya.
Pria berpenampilan khas seniman itu hanya duduk di bangku kecil berbahan besi ditemani tumpukan kulit telur di sisi kirinya. Semangkuk pecahan kulit telur itu digunakannya sebagai pewarna dari sketsa yang tertulis di kain kanvas.
Dia menjelaskan kulit telur itu telah dibersihkan dari kulit ari dan dijemur terlebih dahulu sebelum dipakai untuk melukis. Selanjutnya, kedua tangannya dengan luwes mengolesi lem kayu di kain kanvas dan menempelkan kulit telur dalam gambaran wajah seseorang.
Penggunaan kulit itu dipilih berdasarkan warna yang sesuai untuk membentuk lukisan, seperti warna dari telur ayam kampung, ayam negeri, bebek dan puyuh. Selanjutnya diolesi semen putih dan digosok ampelas.
“Melukis menggunakan kulit telur ini memiliki filosofi tersendiri karena telur menjadi awal dari kehidupan sama seperti rahim,” kata pendiri Wayang Art (Wahana Gaya Gemilang), Dwiyono, kepada Lampost.co, Jumat, 13 September 2024.
Kulit telur juga menyimpan pesan moral. Sebab, teksturnya yang tipis dan rapuh itu ternyata memiliki kekuatan di berbagai kondisi, mulai dari tahan gores, cuaca, dan tahan lama. “Sifat tersebut patut tertanam dalam pribadi manusia yang tidak boleh sombong meski memiliki kelebihan,” ujar dia.
Dia menceritakan inspirasi melukis dari kulit telur berawal dari ketidaksengajaan. Hal itu bermula dari istrinya yang membuat nasi goreng dan kulit telur yang sudah dipecah jatuh hingga terinjak kaki. Remukan kulit tersebut ternyata terlihat memiliki nilai seni.
Hal itu memacu seniman yang awalnya sebagai konsultan itu melakukan eksperimen selama 1995—1997 guna menemukan metode menghasilkan produk berkualitas.
Hal itu turut mengajarkan 20 warga korban pemutusan hubungan kerja (PHK) karena Indonesia saat itu tengah krisis moneter. Mereka diajarkan menempel kulit telur di guci dan tempat tisu dalam sketsa gambar.
Eksperimen selama dua tahun itu turut menghasilkan sejumlah karya lukisan yang dipamerkan di pasar festival pada 1998. Produk seni tersebut ternyata menarik perhatian publik hingga mendapatkan pesanan dari New Zealand.
Tingginya tingkat pesanan lukisan kulit telur membuatnya membangun perusahaan bernama Wayang Art pada 2000 sehingga lebih sering mengikuti pemeran.
Eksistensi itu turut dilirik Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) sehingga menjadi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan badan pelaksana corporate social responsibility (CSR) PT Astra International Tbk tersebut.
Lelehan Sampah Lahirkan Seni
Selain kulit telur, Galeri Wayang Art yang juga kediaman Dwiyono, sekitar Rawamangun, Jakarta Timur, tersebut juga terdapat tumpukan kantong plastik. Hal itu dimulai sebelum masa pandemi covid-19 pada 2019.
Ide tersebut muncul dari banyaknya sampah plastik yang berserakan di berbagai tempat dan menjadi penyumbang terbesar pencemaran lingkungan.
Berdasarkan studi dalam Jurnal Nature, terdapat 52 juta ton produk plastik mencemari lingkungan selama 2020 dan Indonesia yang menghasilkan 3,4 juta ton sampah plastik sebagai penyumbang ketiga terbanyak di dunia.
Sementara urutan pertama adalah India yang menghasilkan 9,3 juta ton dan kedua Nigeria dengan 3,5 juta ton sampah plastik. Bahkan, Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik kedua terbesar dunia setelah Tiongkok.
Namun, di tangan Dwiyono, limbah yang tidak bernilai ekonomi itu menjadi bahan pewarna untuk menghasilkan lukisan. Kantong plastik yang juga tidak laku terjual di pengepul rongsokan dapat disulapnya menjadi karya seni bernilai tinggi.
Bahkan, bergelut di dunia pengolahan sampah dalam hampir 30 tahun turut menerbangkannya ke berbagai belahan dunia. Sebab, karyanya kerap mengikuti pameran di Amerika dan Eropa.
Sementara konsumen dari lukisannya itu berasal dari sekitar 10 negara di kawasan Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. “Konsumen dari luar negeri sering melakukan pemesanan berulang. Kalau konsumen di Indonesia hampir tiap provinsi,” kata dia.
Harga setiap karya pun bervariasi mulai dari Rp1,5 juta sampai Rp30 juta, sesuai tingkat kesulitan dan waktu pengerjaan, seperti pengerjaan satu lukisan kulit telur yang bisa sampai sebulan. “Kalau dari plastik lebih cepat bergantung besar dan kecilnya, seperti ukuran 40 x 40 cm bisa selesai dua jam,” ujar dia.
Bahan kulit telur untuk melukis dibelinya dari pedagang martabak, nasi goreng, dan UMKM rumahan. Mereka mengumpulkan kulit telur rata-rata 5—6 kg per minggu dan akan ditebus Rp10 ribu per kilogram.
Namun, Wayang Art tidak memiliki target pasti untuk jumlah limbah telur dan plastik yang harus terkumpul. Sebab, produksi karyanya saat ini berdasarkan pesanan yang rata-rata lima sampai enam lukisan per bulan.
Meski begitu, dia bercita-cita untuk membangun bank sampah khusus plastik. Namun, sebelum terwujud harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) terlebih dahulu, yaitu melalui pelatihan-pelatihan di tengah masyarakat. “Kami bisa saja membeli banyak kulit telur dan kantong plastik, tetapi SDM yang mengerjakannya belum cukup,” ujar dia.
Untuk itu, kelihaian mengolah limbah tersebut membuatnya kini banyak mengajar berbagai elemen masyarakat untuk mendaur ulang kantong plastik.
“Cukup bawa lima kantong plastik dan akan menjadi lukisan yang dapat dijual Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Padahal awalnya tidak ada nilai jualnya. Itu tidak sulit dan dijamin bisa jika mau belajar,” ujar dia.
Menurut dia, warga yang tidak memiliki latar belakang ilmu seni atau melukis bisa menghasilkan karya dalam waktu dua jam. Sebab, metodenya sangat mudah dengan peralatan untuk melukis hanya sekitar Rp50 ribu.
Caranya dengan membakar kantong plastik sehingga meleleh dan menghasilkan warna yang unik. Lelehan plastik itu ditempelkan ke satu media. Hasil lukisan itu turut memiliki kualitas tinggi karena bahan kantong plastik sangat awet dari sifatnya yang sulit terurai hingga ratusan tahun.
Tingkatkan Kesadaran Masyarakat
Dia mengaku mengedukasi masyarakat di berbagai tempat, di antaranya menggerakkan 497 orang sekaligus untuk membuat karya besar lukisan bunga dari kantong plastik.
Edukasi mengolah limbah plastik yang bisa mencemari lingkungan itu juga dilakukan untuk usia dini. Mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga anak-anak sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Mereka yang sehari-harinya berdampingan dengan sampah diajarkan agar bisa mengubah plastik bekas menjadi produk bernilai jual. Bahkan, Wayang Art akan membuat pameran hasil karya-karya dari warga Bantargebang tersebut.
Upaya tersebut sangat penting agar limbah plastik di masyarakat bisa dimanfaatkan secara massif sehingga pencemaran lingkungan pun dapat berkurang. Untuk itu, dia juga berupaya menciptakan mentor-mentor di sejumlah titik dan diperkirakan saat ini mencapai 1.000 orang.
Untuk itu, gerakannya saat ini lebih banyak mengedukasi dan menginspirasi agar pengelolaan sampah menjadi produk bernilai dan bermanfaat.
Sehingga, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan dan membangkitkan ekonomi sirkular. “Gerakan itu berdampak besar bagi lingkungan, terutama dalam mengurangi sampah,” kata dia.
Peran Berkelanjutan YDBA
Menurutnya, berbagai hasil yang diraih selama puluhan tahun menjadi seniman tersebut terdapat kontribusi besar YDBA yang membinanya sejak 2000.
Sebab, dia pada awal mendirikan Wayang Art hanya puas dengan membuat produk berkualitas dan mengandung filosofi. Namun, hal itu tidak cukup jika produk yang dihasilkan tidak laku terjual.
Persoalan di bidang manajemen perusahaan menjadi peran yang diambil YDBA untuk membinanya agar dapat menjalankan usaha secara berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pembinaan tersebut mulai dari pemberian pelatihan manajemen produksi, keuangan, pemasaran, hingga kepemimpinan agar bisa memimpin karyawan dengan baik.
Pembinaan itu juga memberikan ruang untuk memamerkan karya hingga menjadi pasar dari karya lukisannya. “Saya tidak ada basic kemampuan sebagai pengusaha dan yayasan ini yang membina kami agar bisa menjalankan usaha hingga bertahan puluhan tahun,” katanya.