Texas (Lampost.co) — Konflik di Timur Tengah tampaknya terus memberikan dampak terhadap perekonomian dunia, salah satunya pada harga minyak mentah. Nilai komoditas itu mengalami penurunan pada awal perdagangan Kamis.
Namun, selain konflik Iran dan Israel ternyata terdapat penyebab lainnya, yaitu potensi perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS). Kondisi itu di tengah prospek penundaan penurunan suku bunga
Hal itu membuat harga minyak mentah berjangka brent turun sembilan sen atau 0,1 persen menjadi USD86,95 per barel. Sedangkan, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS anjlok tujuh sen atau 0,1 persen menjadi USD82,74 per barel.
Kedua benchmark tersebut juga sebelumnya kehilangan kurang dari satu persen pada perdagangan Rabu.
“Penundaan penurunan suku bunga AS sebagai sumber kekhawatiran bagi perekonomian AS dan permintaan minyak mentah yang membebani pasar minyak,” kata Analis di Fujitomi Securities Co Ltd, Toshitaka Tazawa, melansir Channel News Asia, Kamis, 25 April 2024.
BACA JUGA: Daftar Harga Bahan Pangan Terbaru Usai Lebaran
Aktivitas bisnis AS tercatat melambat pada April ke level terendah dalam empat bulan terakhir. S&P Global mengatakan Indeks Output PMI Komposit melacak sektor manufaktur dan jasa, turun ke level 50,9 pada bulan ini dari 52,1 pada Maret.
Pemicu Harga Minyak
Sementara itu, serangkaian data inflasi dan lapangan kerja yang lebih kuat dari perkiraan menghantui Bank Sentral AS (Federal Reserve). Situasi itu menunjukkan upaya untuk mengembalikan inflasi ke dalam target bank sentral, yaitu dua persen tetapi terhenti atau berbalik arah.
Kemudian data produk domestik bruto AS dan pengeluaran konsumsi pribadi pada Maret bakal sangat penting bagi dolar dan mengukur jalur suku bunga AS.
Data Badan Informasi Energi (EIA) juga menjelaskan persediaan minyak mentah AS yang tak terduga ternyata turun pada minggu lalu karena lonjakan ekspor. Sementara stok bensin turun lebih kecil dari perkiraan.
EIA mencatat atok minyak mentah itu merosot 6,4 juta barel menjadi 453,6 juta barel pada akhir pekan lalu. Sedangkan, ekspektasi dalam jajak pendapat Reuters justru memperkirakan kenaikan 825 ribu barel. “Data itu memberikan dorongan sementara pada harga minyak, tetapi tidak bertahan lama,” kata Tazawa.