SIAPA yang tak kenal film Dilan 1990 di layar lebar? Film ini mengisahkan dua sosok remaja belasan tahun, yakni Dilan, sang tokoh utamanya serta kekasihnya Milea. Dua karakter ini berangkat dari novel berjudul sama karya Pidi Baiq. Film ini meledak di pasaran dengan merenggut puluhan jutaan penonton datang ke bioskop.
Iqbal Ramadhan sukses memerankan sang karakter utama yang bermulut manis, romantis, namun ia doyan tawuran. Baik di film maupun novelnya, Dilan terlibat dalam geng motor bahkan jadi panglima perang di Bandung . Tawuran menjadi salah satu tema sentral di antara asmara Dilan dan Milea.
Terlepas dari kontroversi atas adegan kekerasan dan aksi tawuran yang dipertontonkan dalam film ini. Harus diakui, Dilan merupakan potret jujur tentang kondisi anak bangsa di jalanan saat itu. Ini bukan mengada-ada, geng motor, tawuran, aksi kekerasan adalah fenomena terang-benderang.
Persona seperti halnya Dilan bukanlah yang pertama hadir di jagat raya perfilman Tanah Air. Pada tahun 70-an telah lebih dulu mengenal Ali Topan Anak Jalanan. Ali juga Dilan merupakam prototipe sebagian anak-anak bangsa yang memilih hidup seraya mencari jati diri di jalanan.
Tulisan ini tentu tidak akan mengulas lebih lanjut lebih dalam tentang dua karakter Dilan dan Ali Topan. Namun, jika mengamati fenomena kehidupan akhir-akhir ini, terutama ketika aksi tawuran kembali marak, harus diakui persoalan yang telah diangkat bersama dua karakter tersebut nyatanya tidak juga tuntas bahkan kian kusut.
Medio Februari lalu publik digegerkan seorang pemuda berinisial D (22) tewas dalam aksi tawuran antara dua kelompok di silang rel kereta api Pasar Baru, Kota Bekasi. “Kami temukan satu orang meninggal dunia, diduga menjadi korban tawuran,” kata Kasubbag Humas Polres Metro Bekasi Kota Kompol Erna Ruswing Andari.
Tragedi itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Jika ditelisik kata kunci “remaja tewas tawuran”, mesin pencari memberikan resume sekitar 309.000 hasil (0,38 detik). Pada halaman demi halaman hasil pencarian dapat dengan mudah ditemukan berbagai informasi seputar aksi tawuran remaja berujung maut.
Jika ditilik lebih dalam, tawuran anak zaman sekarang sudah berubah dari kenakalan remaja menjadi aksi kriminal. Dahulu, anak-anak bangsa yang adu jotos berkelompok antarsekolah, tawuran biasanya terjadi pada jam sekolah atau sepulang sekolah. Namun kini, tawuran terjadi antargeng, kerap membawa senjata tajam yang melukai bahkan merenggut nyawa!
Ini persoalan serius! Kasat Samapta Polresta Bandar Lampung, Kompol Suwandi bahkan telah menyatakan aksi tawuran pelajar di Kota Tapis Berseri menjurus ke tindakan berbahaya. Dari ratusan peserta tawuran, beberapa di antaranya didapati membawa senjata tajam seperti, parang, celurit juga gir motor.
Berdasarkan catatan kepolisian pada Minggu (5/12) misalnya, dari ratusan pelajar tawuran di Jalan Raden Intan, depan Ramayana, Bandar Lampung, tiga pelajar kedapatan membawa celurit. Pun halnya pada Senin (3/1), tujuh pelajar diamankan karena membawa senjata tajam.
Aksi tawuran yang terjadi memakan korban. Pada Jumat (15/1), seorang pemuda babak belur menjadi korban penganiayaan. Teranyar, pada Minggu (27/2), satu orang mengalami luka bacok dalam tawuran yang pecah di seputaran Pasar Tamin, Gang Budiman II, Bandar Lampung.
***
Selain memakan korban, aksi tawuran juga berujung pada vandalisme. Pada Minggu (30/1) bentrok antarpelajar menyebabkan satu motor rusak. Lalu pada Minggu (27/2), tawuran berakibat satu kaca mobil pecah. Tawuran pelajar menjurus kepada tindakan anarkistis.
Karena telah menjelma menjadi persoalan yang membahayakan maka semua pihak harus turun tangan mengatasi persoalan ini. Mulai dari kepala daerah, aparat penegah hukum, sekolah juga tentu saja orang tua, serta masyarakat. Lingkungan juga perlu meredam aksi tawuran sehingga tidak merajalela di Kota Seribu Siger, menjelma menjadi tindakan kriminal.
Seperti yang disampaikan psikolog Universitas Lampung (Unila) Citra Abriani Maharani. Melihat persoalan tawuran perlu dipilah manakala ia merupakan sebuah kenakalan remaja semata atau telah berubah menjadi aksi kejahatan yang melanggar hukum dan telah memakan korban.
Jika kenakalan, pendekatannya adalah pembinaan. Jika aksi kriminal, hukum pidana harus diberikan. Sebab, pelaku tawuran juga perlu mendapatkan pelajaran hidup bahwa di balik setiap tindakan kriminal selalu ada konsekuensi yang menantinya.
Betapa pun memesonanya karakter Dilan juga Ali Topan, mengatasi persoalan dengan laku kekerasan bukanlah jalan keluar yang dapat ditempuh dengan alasan apa pun. Tidak ada satu pun pembenaran dapat diberikan. Inilah akar persoalan utamanya, anak harus dididik, diajarkan menghadapi konflik dengan kepala dingin bukan dengan jalan kekerasan.
Peran keluarga pun tentu amat penting dalam hal ini. Namun bahaya lagi keadaan di lapangan justru sebaliknya. Keluarga justru tidak lagi menjadi ranah yang aman dan nyaman bagi anak. Alih-alih jadi wahana pendidikan yang ideal. Berbagai hasil riset menunjukkan rumah, keluarga, dan orang terdekat justru menjadi zona berbahaya bagi anak dengan banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi.
Selain rumah dan keluarga, maka sekolah merupakan elemen penting dalam mencegah bibit-bibit kekerasan tumbuh dalam diri anak bangsa yang memang tengah bergelut mencari jati diri. Persoalan tawuran bukan semata-mata persoalan lemahnya pengawasan sekolah.
Jauh lebih penting lagi adalah bagaimana sekolah jadi sarana utama remaja menemukan jati diri dengan memberi ruang aktualisasi diri yang memadai. Sehingga mereka tidak mencarinya di tempat lain, apalagi di jalanan.
Alangkah ruginya bangsa ini jika anak-anak bangsa terus-menerus terlibat kehidupan jalanan dengan aksi tawuran. Zaman sudah berubah. Era digital telah menjadi tantangan yang tak terelakkan. Menghadapi era distruptif saat ini, sumber daya manusia sebuah bangsa haruslah kompetitif agar tidak tergilas oleh bangsa lain.
Doronglah anak-anak yang kreatif dan inovatif, dan bebas beraktualisasi diri. Lupakan Dilan, lupakan Ali Topan. Era anak bangsa yang terjerumus hidup di jalanan sudah harus ditinggalkan. Dunia digital membutuhkan generasi tangguh untuk memenangi kompetisi, bukan dengan cara-cara preman. ***