PUBLIK tidak boleh tinggal diam ketika penjabat kepala daerah yang dilantik menteri dalam negeri dan gubernur, jauh dari harapan rakyat. Apalagi sudah meninggalkan kepentingan masyarakat sipil. Ini sebuah pertaruhan yang besar bagi negara, menempatkan pejabat untuk memimpin suatu daerah tanpa pemilihan dan partisipasi publik.
Pengisian jabatan itu adalah konsekuensi dari berakhirnya masa jabatan kepala daerah—gubernur, bupati, dan wali kota–menyusul digelarnya pilkada serentak yang dilaksanakan pada November 2024 sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Pemilu. Akibatnya, pada 2022 ini saja, ada 101 kursi kepemimpinan kepala daerah yang lowong tanpa ada pemilihan.
Daerah yang diisi penjabat di tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Sementara pada 2023 nanti, 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 38 kota akan diisi penjabat. Posisi jabatan yang kosong itu diisi pejabat dari pusat untuk gubernur, dan pejabat provinsi untuk mengisi jabatan wali kota dan bupati.
Faktanya? Ada penjabat kepala daerah yang lantik–tidak diusulkan gubernur. Bahkan, ada juga yang berasal dari pejabat TNI aktif. Seperti penunjukan Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra sebagai penjabat bupati Seram Barat. Sengkarut juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Gubernur Ali Mazi menolak melantik tiga penjabat di daerahnya.
Dalam acara Hot Room yang dipandu Hotman Paris dan disiarkan di Metro TV, Rabu (1/6), dibahas anggota TNI aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil di luar institusi TNI kecuali di 10 institusi kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian berkaitan pertahanan negara.
Ke-10 instansi tersebut, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Ketahanan Nasional, Badan Search and Rescue Nasional, Badan Narkotika Nasional, serta Mahkamah Agung.
Di luar 10 instansi tersebut, anggota TNI dan Polri aktif perlu mengundurkan diri ketika menjabat sebagai penjabat kepala daerah. Ini merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Aturan bahwa anggota TNI wajib mengundurkan diri untuk bisa menjabat sebagai penjabat kepala daerah. Ini juga diperkuat dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/2021 dan 15/2022. Pahamkan!
Sekali lagi ditegaskan. Ditiadakannya Pilkada pada 2022 dan 2023 yang diisi penjabat tidak dipilih langsung oleh rakyat menuai banyak rumor yang menyelimuti penunjukan tersebut. Posisi penjabat ditengarai rentan dipolitisasi, sarat kepentingan politik pemenangan Pemilu 2024.
Polemik sudah terjadi di masyarakat bahwa keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memilih penjabat kepala daerah yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait dengan pengisian penjabat (pj) kepala daerah.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera terheran-heran dengan pilihan Kemendagri yang tidak sejalan dengan putusan MK. “Yang diangkat ada 271 dan waktunya ada yang dua tahun hingga tiga tahun menjabat. Waktunya lama sekali. Harusnya keputusan MK wajib ditindaklanjuti pemerintah dalam bentuk aturan turunannya,” kata Mardani.
Politikus ini menilai dengan tidak ada aturan turunannya, penjabat yang kini ditunjuk tidak memiliki payung hukum yang kuat. Ini sangat rentan digugat, juga akan mendapatkan penolakan dari DPRD dan publik. Apalagi penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi yang kuat.
***
Yang jelas, Kemendagri mengingatkan penjabat kepala daerah agar menjalankan peraturan dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Bukan kepentingan sesaat apalagi pengaruh kuat oligarki. Publik di negeri ini berharap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memantau jika terjadi praktik transaksional dan koruptif dalam pengisian penjabat kepala daerah.
Sebelum pengisian jabatan, pelaksana tugas (plt) juru bicara KPK Ali Fikri mengingatkan pengisian penjabat kepala daerah rentan disusupi tindakan rasuah. Pengisian kursi lowong itu adalah proses politik yang dimanfaatkan sekelompok orang untuk berkepentingan sesaat, dengan mengeruk uang haram! Potensi praktik suap ini mirip jual beli jabatan dalam beberapa perkara yang sudah ditangani KPK.
Dan banyak pejabat yang meringkuk di kamar jeruji besi karena praktik jual beli jabatan. Tercatat data di KPK sejak 2004—2021, pelaku korupsi yang tersandung kasus politik sudah mencapai 310 orang. Mereka berasal dari anggota DPR dan DPRD, 22 gubernur, serta 148 wali kota dan bupati. Jangan sampai penunjukan penjabat mengundang kecurigaan masyarakat, karena rekrutmen dilakukan diam-diam.
Terlepas mumpuni atau tidak, penjabat kepala daerah yang sudah dilantik, sepertinya belum memenuhi harapan masyarakat! Maka itu, Mendagri Tito Karnavian mengingatkan mereka akan dievaluasi setiap tiga bulan. Bahkan, setahun bisa diganti jika kinerja tidak becus! Ini adalah pintu masuk bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Jadi penjabat kepala daerah tidak main-main dalam menjalankan tugasnya.
Ini peringatan agar penjabat kepala daerah fokus bekerja untuk wilayah dan rakyat di situ. Jadi, kalau penjabat titipan–siap-siap dievaluasi publik. Penjabat tidak cukup piawai menata pemerintahan, tetapi harus peduli dengan persoalan rakyat, sosial politik, ekonomi, budaya, dan juga keamanan.
Penunjukan penjabat kepala daerah episode kedua nanti dipastikan tidak rentan penolakan dari publik. Pakar Hukum Tata Negara Hamdan Zoelva mengingatkan saat berbicara di YouTube Salam Radio Channel. Memahami aturan pengangkatan penjabat memudahkan publik mengontrol kebijakan mereka, termasuk menjalankan pemerintahan yang netral di tengah Pemilu dan Pilkada 2024 mendatang.
Ini perlu direnungkan! Penjabat kepala daerah harus fokus menjalankan pemerintahan secara maksimal, menyiapkan agenda pilkada. Mungkin ada baiknya penjabat tidak rangkap jabatan sebagai dirjen, kepala dinas atau sejenisnya. Rakyat membutuhkan perhatian serius di tengah ekonomi yang belum stabil karena didera pandemi Covid-19. Ini urusan pilkada serentak!
Penjabat harus memastikan kesiapan dana, teknis pelaksanaan, birokrasi juga regulasinya, sehingga tidak melanggar aturan. Penyelenggaraan pesta rakyat jadi momentum pertama kali yang belum pernah terjadi di negeri ini. Dua peristiwa politik tahun 2024, yakni pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pilkada serentak membutuhkan energi yang besar seperti kesediaan dana dan pemikiran yang jernih.
Maka itu bekerjalah maksimal, jangan setengah-setengah, serta fokus mengurusi rakyat. Tidak ada jalan lain penjabat harus menanggalkan semua jabatan. Jauhilah niat keserakahan yang memanfaatkan jabatan. Bekerjalah dengan niat mengurusi rakyat bukan kepentingan kelompok.
Tegas dan jelas bahwa penjabat kepala daerah harus memiliki kompetensi manajerial kepemimpinan dalam melayani rakyat dan mampu bekerja sama dengan parlemen. Apalagi sudah mengangkat sumpah dan janji. Ingat kawan! Pelaksanaan Pemilu Presiden dan Legislatif dan Pilkada 2024 di daerah menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah. ***