DI tengah heboh pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025, ada kebijakan baru yang luput dari perhatian publik, yaitu opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan opsen bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Opsen ini merupakan amanah dari UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang mulai diterapkan pada 5 Januari 2025. Kebijakan ini menjadi sumber baru pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemda melalui pemungutan pajak tambahan oleh kabupaten/kota.
Meskipun Pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten/kota se-Provinsi Lampung sepakat untuk menunda pemberlakuan opsen ini yang tertuang dalam Kepgub Lampung No. G/876/VI.03/HK/2024, penting bagi masyarakat untuk memahami opsen pajak, bagaimana mekanismenya, dan dampaknya terhadap besaran PKB dan BBNKB yang harus dibayar apabila tanpa adanya kebijakan keringanan. Akankah kebijakan ini menjadi solusi bagi kabupaten/kota atau justru menciptakan masalah baru bagi masyarakat?
Opsen PKB dan BBNKB
Opsen PKB dan BBNKB adalah pungutan tambahan pajak berdasarkan persentase tertentu yang dikenakan oleh pemda atas pokok PKB terutang. Menurut Pasal 83 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2022 besaran tarif opsen pajak ini ditetapkan sebesar 66% dari pajak terutang. Pemungutannya dilakukan bersamaan dengan pembayaran PKB tahunan dan pengaturannya tertuang dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, apa artinya ini bagi masyarakat?
Untuk memahami dampaknya kita dapat melihat perhitungannya. Sebelum pemberlakuan opsen, tarif PKB adalah 1,5% dari nilai jual kendaraan bermotor (NJKB). Setelah opsen diberlakukan tarif PKB turun menjadi 1%. Sedangkan untuk tarif BBNKB motor sebesar 15% dan mobil sebesar 12,5% turun menjadi 10%, akan tetapi masyarakat harus membayar tambahan opsen pajak sebesar 66% dari pajak terutang.
Sebagai ilustrasi perhitungan, jika NJKB sebuah mobil (bobot 1,5) sebesar Rp300.000.000, maka sebelum opsen diberlakukan, besarnya pajak yang harus dibayar sebesar Rp4.725.000 (Rp300.000.000×1,05×1,5%). Sedangkan setelah adanya opsen, pajak terutang turun menjadi Rp3.150.000 (Rp300.000.000×1,05×1%) tetapi ada tambahan opsen sebesar Rp2.079.000 (66%xRp3.150.000). Dengan demikian, total pajak yang harus dibayar sebesar Rp5.229.000. Dengan demikian, masyarakat selaku wajib pajak harus membayar tambahan sebesar Rp504.000 (Rp5.229.000-Rp4.725.000) dibandingkan sebelum ada opsen PKB.
Contoh lain untuk kendaraan sepeda motor (bobot 1) dengan NJKB Rp20.000.000 memberikan gambaran serupa. Sebelum opsen, pemilik sepeda motor hanya membayar Rp300.000. Setelah opsen, masyarakat harus membayar total sebesar Rp332.000 atau membayar tambahan sebesar Rp32.000. Meskipun nilai tambahan itu kelihatannya kecil namun tambahan ini tentu terasa signifikan, terutama bagi mereka yang berada pada lapisan ekonomi menengah ke bawah.
Dengan menggunakan NJKB di atas, besaran BBNKB terutang untuk mobil sebelum opsen sebesar Rp40.000.000 (Rp320.000.000×12,5%) dan setelah ada opsen BBNKB masyarakat harus membayar sebesar Rp53.120.000 atau tambahan sebesar Rp13.120.000. Sedangkan untuk kendaraan roda 2, sebelum opsen BBNKB terutang sebesar Rp3.090.000 dan setelah ada opsen total BBNKB terutang sebesar Rp3.419.600 atau ada kenaikan sebesar Rp329.600.
Manfaat bagi Pemda
Pemberlakuan opsen PKB dan BBNKB merupakan solusi atau pengalihan dari dana bagi hasil (DBH) pajak provinsi yang selama ini sering mengalami penundaan. Di Provinsi Lampung, misalnya, utang DBH sebesar Rp1,08 triliun pada tahun 2023 ditambah estimasi alokasi tahun 2024 sebesar Rp1,65 triliun.
Dengan opsen ini, kabupaten/kota akan menerima pendapatan langsung yang dicatat sebagai PAD sebesar tambahan opsen tersebut tanpa perlu menunggu transfer dari provinsi. Begitu wajib pajak bayar, langsung terbagi untuk provinsi masuk rekening kas umum daerah (RKUD) provinsi dan opsen pajak masuk ke RKUD kabupaten/kota.
Opsen juga memberikan fleksibilitas bagi daerah untuk mengelola penerimaan dan belanja mereka sendiri sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Secara jangka panjang, opsen ini dapat meningkatkan kemandirian daerah karena terjadi peningkatan PAD sebesar 50% dibandingkan dengan penerimaan bersumber DBH dari sektor PKB dan BBNKB.
Dampak bagi Masyarakat
Salah satu dampak utama yang dirasakan masyarakat adalah bertambahnya beban pajak yang harus dibayarkan. Selain itu, peningkatan beban pajak juga berpotensi mendorong sebagian masyarakat untuk menghindari kewajiban pajak, dengan cara menunda atau tidak memperpanjang pembayaran pajak kendaraan.
Dengan demikian, akan meningkatkan ketidakpatuhan wajib pajak untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakan. Jika hal ini terjadi dalam skala besar, alih-alih upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak justru pajak tidak masuk kas daerah. Di sisi lain, naiknya BBNKB memengaruhi kenaikan nilai jual kendaraan bermotor yang mengakibatkan minat masyarakat membeli kendaraan menurun sehingga berdampak pada industri otomotif.
Tantangan
Namun, penerapan opsen ini bukan tanpa kendala. Beban tambahan yang harus ditanggung oleh masyarakat berpotensi menurunnya ability to pay dan willingness to pay, terutama jika kebijakan ini tidak disampaikan dengan jelas dan terarah. Pemda memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan tujuan opsen secara gamblang, sekaligus menunjukkan bagaimana pungutan tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan publik.
Kebijakan opsen ini bisa mengurangi ketergantungan terhadap transfer dana dari provinsi, sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Namun, kesuksesan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pemda menjalankannya.
Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak. Jika tidak, opsen hanya akan terasa sebagai beban tambahan tanpa manfaat nyata. Dengan demikian, penting bagi pemda untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar membawa keseimbangan antara kebutuhan fiskal daerah dan manfaat bagi masyarakat luas. *