BIADAB! Kata yang pantas yang terlontar kala membaca berita pelecehan seksual pada bayi perempuan 15 bulan di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, pertengahan Maret lalu.
Kisah predator anak di negeri ini pun seolah tiada habisnya. Pada tahun 1996 lalu nalar publik pun tersentak atas aksi biadab Robot Gedek alias Siswanto. Pria tunawisma itu terungkap telah menyodomi 12 anak dan membunuh para korban dengan cara amat kejam dengan memotong-motong tubuh korban atau mutilasi.
Satu dekade berlalu laku keji serupa kembali berulang dengan pelaku berbeda. Pada 2007 mencuat kasus Baikuni alias Babe menjadi pelaku sodomi sekaligus serial killer alias pembunuh berantai. Nyawa tujuh bocah malang di tangan Baikuni.
Rentetan kasus itu merupakan puncak gunung es dari potret buram kekerasan seksual pada anak di negeri ini. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat belasan ribu kasus serupa terjadi sepanjang 2021.
Para predator anak merajalela di Tanah Air. Ini merupakan kenyataan tidak terbantahkan. “Sebanyak 45,1% kasus dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak merupakan kasus kekerasan seksual,” kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga, awal tahun ini.
***
Kasus paling anyar sekaligus memuakkan publik adalah predator seks Herry Wirawan (36). Diketahui Herry memerkosa belasan santrinya hingga perbuatannya terbongkar. Akibat aksi bejatnya itu beberapa korbannya hamil hingga melahirkan.
Aksi bejat Herry Wirawan ini telah terungkap sejak Mei 2021 dan viral di media sosial pada Desember 2021. Herry merupakan seorang guru mengaji sekaligus pimpinan salah satu yayasan pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat.
Latar belakang status Harry menambah kegusaran publik. Itu mengapa banyak pula yang berharap penjahat seksual ini mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Harapan masyarakat jatuhnya hukuman setimpal baginya akhirnya terjawab sudah.
Adalah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Jawa Barat, mengabulkan banding hukuman mati Herry. Selain hukuman mati, penjahat seksual diwajibkan membayar uang pengganti kerugian atau restitusi mencapai Rp300 juta lebih.
Dengan putusan itu hakim menganulir putusan sebelumnya, yakni hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan keputusan ini sejarah dan harapan baru penegakan hukum bagi pelaku kejahatan seksual.
“Putusan ini menjadi tonggak sejarah penting untuk Indonesia dalam memberikan efek jera hukuman maksimal, sekaligus edukasi di masyarakat. Keputusan ini bisa menjadi yurisprudensi hukum ke depan,” ujar Jasra Putra sebagai komisioner KPPI.
Putusan tersebut menjadi babak baru dalam perang membasmi para predator anak. Dengan adanya putusan berat ini, orang tua berharap kasus serupa tidak kembali terulang di kemudian hari. Jangan ada lagi anak bangsa yang menjadi korban para predator.
***
Mengungkap kasus kekerasan seksual pada anak bukanlah perkara mudah. Film dari kisah nyata Spotlight (2015) menggambarkan hal ini. Butuh kerja keras luar biasa tim investigasi kantor berita The Boston Globe mengungkap kekerasan seksual di Boston.
Spotlight memberikan pemahaman kepada penduduk bumi mengapa banyak dari pelaku pedofil mengincar anak lelaki sebagai korbannya. Anak laki-laki umumnya tidak mau membuka mulut atas kekerasan yang menimpanya. Selain rasa malu ini juga menyangkut harga diri.
Persoalan relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual pada anak juga disinggung dalam film ini. Tipis kemungkinan seorang anak berani mengungkap pelaku kejahatan yang juga sekaligus guru atau pemuka agama. Itu mengapa kasus ini terpendam cukup lama.
Itu pula mengapa tanggung jawab mengakhiri sepak terjang para predator anak tidak hanya ada di tangan pemerintah (negara), tapi juga menjadi tanggung jawab individu maupun sosial. Institusi pers, NGO, tokoh masyarakat juga punya andil besar.
Butuh keseriusan bersama untuk mengakhiri darurat kekerasan seksual pada anak di negeri ini. Jangan sampai kita kalah cepat mengatasi situasi dengan para predator anak. Lambat menguasai persoalan ini berarti kiamat bagi masa depan anak bangsa. *