UMAR ROBANI
JURU bicara vaksin covid-19 PT Biofarma, Bambang Herianto, menegaskan vaksin Sinovac yang terpakai di Indonesia tidak mengandung bahan berbahaya. Vaksin tersebut juga tak mengandung bahan pengawet.
“Produksi Vaksin covid-19 dari Sinovac ini tidak menggunakan pengawet, dan tidak mengandung bahan-bahan lain, seperti boraks, formalin, ataupun merkuri,” kata Bambang dalam konferensi televideo, Minggu, 3 Januari 2021.
Menurut Bambang, ada empat kandungan dalam vaksin Sinovac. Pertama virus yang sudah mati atau in-activated.
“Tidak mengandung sama sekali virus hidup atau menjadi lemah. Ini termasuk cara yang umum dalam membuatkan vaksin,” ujar dia.
Kandungan kedua ialah alumunium hidroksida. Senyawa kimia ini berfungsi meningkatkan kemampuan vaksin.
Kandungan ketiga, yakni larutan fosfat atau sebagai penstabil (stabilizer). Terakhir, larutan garam natrium klorida, atau garam dapur NaCl.
“Kandungan ini sebagai isotonis untuk memberikan kenyamanan dan penyuntikan. Tapi tentunya garam natrium klorida ini adalah yang memenuhi standar farmasetikal,” ujar Bambang.
Ia juga menegaskan adalah pesan hoaks yang menyebutkan vaksin Sinovac mengandung sel vero dari jaringan kera hijau Afrika.
“Karena sel vero hanya sebagai media kultur untuk media kembang dan tumbuh virus. Kemudian untuk proses perbanyakan virus serta sebagai bahan baku vaksin,” kata Bambang.
Menurut dia, media kultur berfungsi untuk mempertahankan virus agar tak mati. Jika tak ada media kultur, pembuatan vaksin menjadi sulit.
Vaksinasi covid-19 akan berlangsung secara bertahap di 34 provinsi. Proses ini dari Januari 2021 hingga Maret 2022. Periode pertama berlangsung dari Januari hingga April 2021. Tahapan ini untuk 1,3 juta tenaga kesehatan dan 17,4 juta petugas publik.
Periode kedua berlangsung selama 11 bulan. Pada periode yang menjangkau masyarakat ini pada April 2021 hingga Maret 2022.
Efikasi Minimal
Peneliti pandemi di Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyebut vaksin Sinovac mesti memiliki efikasi (kemampuan mencegah penyakit) minimal 60-70 persen. Angka tersebut untuk membentuk herd immunity terhadap covid-19 dalam standar wilayah di Indonesia.
“Harapan saya Sinovac ini punya efikasi minimal 60 persen,” kata Dicky kepada Medcom.id, beberapa waktu lalu.
Dia menuturkan ambang batas efikasi vaksin minimal 50 persen sesuai ketetapan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Dicky mengatakan semakin tinggi efikasi vaksin semakin efektif mencapai herd immunity.
“Sekali lagi bukan enggak bisa terpakai kalau 50 persen, bisa terpakai (tetapi) harus dengan matang vaksinasinya,” ujar Dicky.
Pria yang pernah terlibat dalam penelitian wabah SARS hingga flu burung ini menjelaskan untuk mencapai herd immunity harus dengan perhitungan cermat lewat tiga rumus. Mulai dari angka efikasi vaksin, reproduksi virus dalam satu wilayah, dan cakupan penerima vaksin.
Artinya, pemberian vaksin tidak sembarangan dan mesti melalui kajian rumit. Herd immunity tidak akan tercapai bila tidak melalui kajian tiga rumus itu.
“Secara ideal angka efikasi dari vaksin yang tinggi, angka reproduksi yang rendah, (serta) presentase cakupan yang tinggi, itu akan menghasilkan herd immunity yang efektif,” ujar dia.
Mantan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan ini mengatakan pemberian vaksin juga tidak bisa langsung secara nasional. Pemberian vaksin perlu fokus pada satu wilayah.
Cakupan wilayah tidak mesti memperhatikan daerah yang paling parah terjadi penyebaran virus. Tetapi, memperhatikan ketiga rumus tadi.
“Kalau efikasi ada di 50 persen (maka) targetnya harus matang pada level daerah kabupaten, kota, dan provinsi. Jadi enggak langsung berpikir nasional, enggak bisa dalam situasi saat ini. Selain kita harus punya prioritas, prioritas bukan bahwa daerah itu paling parah tapi juga melihat kesiapan tadi rumus tadi,” jelas Dicky.
Klaim WHO
Pada bagian lain, klaim WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah adalah salah. Faktanya, berdasarkan keterangan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan WHO tidak ada dokumen resmi seperti yang membandingkan efektivitas dan efikasi vaksin.
Berdasar keterangan dari medcom.id(Grup Lampung Post), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan WHO tidak memiliki dokumen resmi seperti yang membandingkan efektivitas dan efikasi vaksin seperti pemberitaan tersebut. “Hal ini juga sudah kami konfirmasikan kepada pihak WHO di Indonesia,” kata juru bicara vaksinasi covid-19 BPOM Lucia Rizka Andalusia dalam keterangan virtual, Minggu, 20 Desember 2020. BPOM menyatakan tingkat efikasi vaksin Sinovac baik. Pihak produsen hingga badan pengawas obat di negara tempat uji klinis menyampaikan ihwal tersebut.
Dia juga menyatakan informasi yang menyatakan Indonesia satu-satunya negara pemesan vaksin Sinovac tidak tepat. Sejumlah negara memesan vaksin covid-19 dari Sinovac, seperti Brasil, Turki, Chile, Singapura, dan Filipina. Mesir juga sedang bernegosiasi untuk bisa memproduksi vaksin Sinovac.
“Pemerintah telah menegaskan komitmennya untuk memastikan bahwa vaksinasi hanya dilakukan dengan vaksin yang aman, efektif, dan bermutu secepatnya,” tegas dia.
Selain itu, sebelumnya ada informasi perbandingan vaksin covid-19 setelah Al Jazeera melansir artikel yang memuat tabel tentang perkembangan uji klinis berbagai vaksin Covid-19.
Tabel secara detail membandingkan 10 vaksin COVID-19, antara lain dari AstraZeneca-Oxford, CanSino, Gamaleya Research Institute, INOVIO, Johnson & Johnson, Moderna, Pfizer-BioNTech, Sinopharm, dan Sinovac.
Disebutkan vaksin Covid-19 yang paling tinggi menimbulkan respons imun adalah dari Pfizer dengan angka mencapai 95 persen. Kemudian yang paling lemah adalah Sinovac tanpa dicantumkan angka, hanya keterangan “low”.
Tidak dijelaskan darimana sumber data tabel. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang jelas sampai saat ini belum pernah memberikan keterangan atau rekomendasi vaksin COVID-19 yang bisa terpakai di seluruh dunia. (MEDCOM.ID)