KETIKA duduk di meja warung pecel lele Warung Pak De di Jalan Diponegoro, Bandar Lampung, seorang karyawan langsung menanyakan menu yang akan dipesan. Usai pemesan karyawan tadi langsung menuju dapur pengolahan. Karyawan lainnya dengan jalan agak sempoyongan dan tanganya sedikut bengkok, membawa kobokan (tempat cuci tangan) ke meja pengunjung yang baru datang. Dengan sigap, ia juga memperhatikan meja yang baru ditinggalkan pengjunjung yang baru menyantap dan segera membersihkannya. Membawa piring dan gelas kotor ke area pencucian, serta membersihkan sisa makanan yang berserakan di meja.
Pekerja tadi kerap dipanggil Min, ia memang penyandang disabilitas sejak kecil dan dipekerjakan oleh pemilik warung karena masih kerabatnya.
Pak De, pemilik warung, mengatakan sengaja memperkerjakan kerabatnya itu agar ada aktivitas berarti ketimbang hanya berdiam diri di rumah.
“Memang tidak maksimal kerjanya, bicara juga kurang jelas, tetapi kerja ini penting buat Min dan juga supaya jangan terlalu minder. Kan enggak ada orang yang mau lahir seperti itu sebenarnya. Bantu-bantu di sini biar ada kegiatan positif dan juga Min dapat penghasilan,” ucap Pak De.
Min adalah satu dari sekian penyandang disabilitas yang beruntung mendapatkan pekerjaan meskipun hanya membantu di warung pecel lele milik kerabatnya. Masih banyak kaum difabel yang memiliki potensi tapi harus berdiam diri karena minimnya lahan pekerjaan bagi mereka.
Hal in juga yang diungkapkan Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Lampung, Edy Waluyo, bahwa lahan pekerjaan untuk kaum disiabilitas di Lampung masih amat minim.
“Kalau Undang-undangnya sih serapan tenaga kerja di swasta maupun pemerintahan 2 persen, tetapi kenyataannya amat jauh, bahkan boleh dibilang minim,” jelas Edy, kepada Lampung Post, Senin (31/5).
Ia merasa heran juga karena belum banyak yang tergugah memanfaatkan tenaga kerja penyandang disabilitas ini, padahal dalam UU sudah jelas. “Upaya kami agar kami juga bisa terlibat dalam dunia kerja terus diupayakan, salah satunya dengan pembahasan raperda disbilitas dengan anggota DPRD Lampung pada tahun 2020, dan sampai saat ini katanya masih dalam pembahasan lanjut. Tetapi kami dari PPDI Lampung tetap akan memperjuangkan ini,” ucap Edy.
Perjuangan itu bukan tanpa dasar, PPDI Lampung yang jumlah anggota terdaftar 300-an orang angkatan kerja, terus mengikutsertakan anggotanya dalam pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi Lampung bersama dengan masyarakat umum (nondifabel). “Kita ikut kompetisi, seleksi untuk mengikuti pelatihan di BLK ini, dan alhamdulillah selalu masuk meskipun hanya satu dua orang,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Edy, secara rutin PPDI menggandeng pihak lain memberikan pelatihan dan pengetahuan kewirausahaan secara vitual secara berkala. “Saat pandemi ini kami masih tetap berlatih meski lewat virtual. Dan untuk menjalin hubungan antaranggota serta berbagi pengetahuan dan informasi, dilaksanakan arisan. Tujuannya agar silaturahmi tidak terputus dan terus tersambung,” kata dia.
PPDI masih terus berharap agar Raperda yang membahas tentang kaum disabilitas termasuk dalam mendapatkan pekerjaan secara umum bisa diperjuangkan. “Kami akan terus berjuang,” ucapnya.
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung A. Imron, mengatakan pihaknya akan kosen untuk membahas terkait rapeda soal serapan tenaga kerja bagi kaum disabilitas ini. Saat ini pembahasan terus dialnjutkan dengan mengundang beberapa pihak untuk penguatan raperda ini.
Partisipasi Rendah
Rendahnya partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas tak hanya di Lampung, tetapi secara keseluruhan di Indonesia pun masih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh masih terbatasnya ketersediaan lapangan kerja dan diskriminasi serta stigma bagi penyandang disabilitas di dunia kerja.
Jika menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2020 mencatat jumlah penduduk usia kerja penyandang disabilitas sebanyak 17,74 juta orang. Dari jumlah itu, yang masuk ke angkatan kerja ada sebanyak 7,8 juta orang yang berarti Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Penyandang Disabilitas hanya sekitar 44 persen, angka ini jauh di bawah angka TPAK Nasional yang sebesar 69 persen.
Hak mendapatkan pekerjaan bagi kaum disabilitas sudah diatur dalam Undang-undang. Dalam UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Di sini kaum difabel memiliki kesamaan hak untuk mendapatkan pekerjaan di ranah publik.
Selain itu, perlindungan kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas juga diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan.
Namun, implementasinya memang tidaklah mudah, seperti yang diungkapkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahwa serapan pekerja dari kelompok penyandang disabilitas di perusahaan masih rendah, meskipun dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah diamanatkan bahwa tiap 100 pekerja, perusahaan wajib mengambil satu persen dari kelompok difabel.
Rendahnya partisipasi di sektor industri juga dipengaruhi oleh beberapa permasalahan seperti tidak tersedianya aksesibilitas di lingkungan kerja, kesenjangan sosial, dan pelatihan pendidikan yang tidak inklusif. Apalagi ketersediaan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas lebih banyak di sektor pelayanan, jasa dan ritel dibanding sektor industri.
Selagi menunggu UU pekerja disabilitas terpenuhi, salah satu yang dapat dilakukan kaum disabilitas adalah tetap berkarya dengan memanfaatkan teknologi yang mampu menciptakan diversifikasi keterampilan kaum disabilitas. Artinya, kaum difabel menciptakan peluang usaha sendiri yang hasilnya disa dipasarkan ke khalayak umum. (SAG/R5)