DALAM draf dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045, Bandar Lampung sedang bergerak menuju perubahan besar mendukung Indonesia Emas 2045. Bandar Lampung akan bertransformasi menjadi kota Metropolitan yang maju, humanis, dan berkelanjutan.
Sebagai gerbang utama Pulau Sumatera, kota ini bermimpi menjadi pusat ekonomi dan metropolitan modern. Kehadiran Tol Trans-Sumatera dan pengembangan Pelabuhan Panjang menjadi pendorong utama percepatan ini. Infrastruktur tersebut tak hanya meningkatkan aksesibilitas Bandar Lampung dengan wilayah lain di Sumatera, tetapi juga mengukuhkan perannya sebagai pusat perdagangan strategis antara Pulau Jawa dan Sumatera.
Namun, optimisme tersebut dihadapkan pada tantangan besar, yaitu bagaimana memastikan pembangunan tetap sejalan dengan kelestarian lingkungan?
Masalah yang Dihadapi
Masalah mendesak yang dihadapi Kota Bandar Lampung adalah kemacetan, banjir, ruang terbuka hijau (RTH), dan pengelolaan sampah. Kemacetan yang semakin membebani kota karena pertumbuhan populasi dan ekonomi yang cepat. Kemacetan sangat dirasakan, terutama pada pagi jam masuk sekolah dan pergi-pulang kantor karena waktunya yang serentak.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan panjang jalan yang tersedia dengan rasio jalan terhadap populasi hanya mencapai 1,31 pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur jalan di kota ini masih jauh dari memadai, ditambah lagi dengan penataan pedagang kaki lima dan pasar tumpah.
Selain itu, transportasi umum seperti Bus Rapid Transit (BRT) yang pernah beroperasi kini entah ke mana keberadaannya dan yang masih tampak beberapa unit BRT trayek Panjang-Sukaraja saja.
Masalah banjir juga menjadi ancaman tahunan. Penyebabnya utamanya adalah sistem drainase buruk yang menyebabkan genangan serta berkurangnya lahan resapan akibat pertumbuhan permukaan beton dan aspal, serta tidak tersedianya RTH yang menjadi serapan air.
Terkait RTH, justru terjadi defisit RTH yang sangat signifikan. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan setiap kota memiliki RTH sebesar 30 persen dari total luas wilayahnya. Faktanya, luas total RTH di Bandar Lampung saat ini hanya 9,86% dan jauh di bawah standar nasional.
Kondisi ini memengaruhi kemampuan serapan air hujan, penyediaan udara bersih bagi masyarakat, dan meningkatnya suhu kota. Alih-alih menambah RTH, fungsi lahan hutan kota Way Halim sebagai RTH yang merupakan paru-paru kota malah akan dialihkan menjadi kawasan perumahan dan ruko (superblok).
Pengelolaan sampah di TPA Bakung kini sudah kewalahan menangani volume sampah yang mencapai 750 ton setiap hari. Sebagian besar sampah dikelola dengan sistem open dumping, yaitu metode yang tidak ramah lingkungan dan membawa risiko tinggi bagi kesehatan masyarakat.
Bahkan ketinggian tumpukan sampah telah mencapai 20 meter merupakan sampah yang tertimbun dalam kondisi utuh yang seharusnya sampah yang masuk hanya residunya. Pengelolaan yang tidak baik dan tidak berwawasan lingkungan inilah berujung pada penyegelan oleh Menteri Lingkungan Hidup karena terindikasi melanggar UU No. 18/2008.
Langkah Strategis
Terkait kemacetan lalu lintas, dibutuhkan grand desain transportasi yang nyaman dan terintegrasi. Upaya yang dilakukan adalah pengembangan transportasi umum seperti BRT yang cepat, nyaman, dan terjangkau. Langkah ini tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga membantu menekan emisi karbon dari kendaraan pribadi. Peningkatan konektivitas antarwilayah, terutama dari pusat kota ke kawasan pinggiran, juga dapat mengurangi beban lalu lintas di tengah kota.
Terkait banjir, Pemkot Bandar Lampung perlu melakukan pendekatan multiaspek. Perluasan dan normalisasi sungai-sungai utama, seperti Way Kuripan dan Way Kuala, yang dilakukan untuk memperbaiki aliran air. Pembangunan infrastruktur tahan banjir, seperti kolam retensi, waduk kecil, dan saluran air bawah tanah yang dapat membantu mengurangi genangan di area rawan.
Tak kalah penting adalah kampanye kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga saluran air dari sampah. Sampah yang menyumbat drainase menjadi penyebab utama banjir sehingga pengelolaan limbah harus menjadi bagian integral dari strategi pengendalian banjir.
Terkait RTH, Pemkot perlu menerapkan strategi revitalisasi dan ekspansi RTH secara berkelanjutan. Taman kota, sempadan sungai, dan kawasan mangrove dapat direvitalisasi tidak hanya untuk area resapan air, tetapi juga ruang publik yang mendukung rekreasi dan edukasi lingkungan.
Pemkot dapat mendorong pengembangan RTH privat melalui insentif berupa pengurangan pajak bagi perusahaan yang mengembangkan area hijau di properti mereka, terutama di kawasan Panjang, Sukabumi, dan Bumi Waras. Kampanye penghijauan yang melibatkan masyarakat perlu digalakkan, seperti program adopsi pohon atau penciptaan taman komunitas di permukiman.
Pemkot harus menaati rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan agar tidak keliru dalam penatagunaan dan pemanfaatan lahan. Di samping itu, transparansi ke publik terkait RTRW/Rencana Kawasan sehingga tidak hanya dikonsumsi oleh pengusaha semata.
Terkait sampah, diperlukan sistem yang lebih modern dan ramah lingkungan, misalnya dengan Waste to Energy (WTE) dan fasilitas daur ulang dapat diterapkan untuk mengurangi beban TPA Bakung. Solusi industri berbasis limbah rumah tangga perlu dikembangkan sebagai solusi energi, pupuk dan UMKM daur ulang plastik, dan lain-lain.
Edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk penanganan sampah rumah tangga dengan cara mengurangi (reduce), menggunakan ulang (reuse), dan mendaur ulang (recyle) atau ekonomi sirkular. Kampanye pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, pembangunan fasilitas daur ulang, dan pemberian insentif bagi warga yang mendukung program ini dapat membantu mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA perlu digalakkan.
Optimisme ke Depan
Dengan posisi strategis dan dukungan infrastruktur yang terus berkembang, kota ini bisa menjadi contoh bagaimana sebuah kota metropolitan dapat tumbuh tanpa mengorbankan lingkungan.
Pemkot Bandar Lampung perlu mengarahkan kebijakannya dengan melibatkan perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan aksesibilitas dan rencana pengembangan wilayah perbatasan yang akan mendukung distribusi barang dan jasa, serta pertumbuhan ekonomi sebagai kawasan aglomerasi.
Kuncinya ada pada keberanian Wali Kota untuk membuat keputusan yang berpihak pada keberlanjutan. Hal ini sejalan dengan visi Bandar Lampung 2045, yaitu Humanis, Maju, dan Berkelanjutan. *