ORGANISASI mahasiswa merupakan wadah penting dalam pembentukan karakter, kemampuan berpikir kritis, dan kepemimpinan mahasiswa di Indonesia. Sejak zaman kemerdekaan hingga reformasi, peran organisasi mahasiswa sangat vital dalam membawa aspirasi masyarakat dan memperjuangkan keadilan sosial.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul kekhawatiran bahwa beberapa organisasi mahasiswa mulai kehilangan independensi mereka. Sebagian dari mereka dianggap menjadi “boneka” bagi pejabat kampus atau bahkan kekuatan politik tertentu. Hal ini memunculkan kekhawatiran tentang hilangnya ruh pergerakan mahasiswa yang sejatinya berjuang untuk kepentingan masyarakat, bukan kekuasaan.
Sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia telah mencatat banyak episode penting dalam perjalanan bangsa. Pada era 1960-an, mahasiswa berperan besar dalam menggulingkan rezim Orde Lama melalui demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Gerakan mahasiswa ini, yang dikenal dengan “Angkatan 66”, menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan harga kebutuhan pokok.
Di era berikutnya, terutama pada masa Orde Baru, pergerakan mahasiswa sering dihadapkan pada tantangan besar berupa represi dari pemerintah. Namun, semangat perlawanan mereka tetap menyala, hingga akhirnya berhasil menggulingkan rezim otoriter Soeharto pada 1998. Mahasiswa kembali menunjukkan peran mereka sebagai kontrol sosial yang kuat, yang mampu menggiring perubahan besar di dalam negeri.
Namun, situasi berubah drastis setelah reformasi. Gerakan mahasiswa tidak lagi sekukuh dan sesolid sebelumnya. Banyak pengamat yang melihat adanya perubahan orientasi di kalangan organisasi mahasiswa, yang justru lebih condong ke arah kekuasaan daripada memperjuangkan idealisme perjuangan sosial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan dugaan bahwa beberapa organisasi mahasiswa telah menjadi boneka bagi pejabat kampus atau bahkan elite politik di luar kampus.
Sejak reformasi, kampus-kampus di Indonesia mulai mendapat perhatian lebih dari pemerintah, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan. Banyak kampus yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang kuat. Dalam konteks ini, peran pejabat kampus, mulai dari rektor hingga dekan, tidak dapat dipandang sepele. Mereka sering memegang kendali penuh atas berbagai kebijakan kampus, termasuk dalam hal pendanaan, kegiatan akademik, serta hubungan dengan pihak luar. Dalam beberapa kasus, pejabat kampus juga kerap campur tangan dalam organisasi mahasiswa.
Kontrol pejabat kampus terhadap organisasi mahasiswa bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Salah satu yang paling sering disorot adalah melalui pendanaan. Banyak organisasi mahasiswa yang sepenuhnya bergantung pada dana yang disalurkan oleh kampus. Ketergantungan ini sering menjadi celah bagi pejabat kampus untuk mengendalikan arah gerak organisasi tersebut. Organisasi yang kritis terhadap kebijakan kampus atau terlalu vokal dalam menyuarakan aspirasi mahasiswa bisa saja diberi tekanan dengan pemotongan anggaran atau bahkan pembubaran kegiatan.
Lebih jauh lagi, pejabat kampus juga sering terlibat dalam proses seleksi atau penunjukan pemimpin organisasi mahasiswa. Meskipun seharusnya pemimpin dipilih melalui mekanisme demokratis, pada praktiknya ada beberapa kasus di mana pejabat kampus terlibat dalam manipulasi pemilihan atau memberikan dukungan terselubung kepada calon tertentu. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan merusak demokrasi di kalangan mahasiswa.
Salah satu alasan mengapa organisasi mahasiswa bisa dengan mudah dikendalikan oleh pejabat kampus adalah karena ketergantungan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa menjalankan sebuah organisasi mahasiswa memerlukan dana yang tidak sedikit. Mulai dari biaya operasional, kegiatan, hingga honorarium bagi pengurus, semua membutuhkan biaya. Dalam situasi di mana pendanaan terbatas, organisasi mahasiswa harus mencari sumber dana dari luar, termasuk dari pihak kampus.
Pengaruh politik juga menjadi salah satu alasan mengapa organisasi mahasiswa sering terjebak dalam kendali pejabat kampus. Dalam beberapa kasus, pejabat kampus memiliki afiliasi politik dengan partai atau kelompok tertentu. Organisasi mahasiswa yang seharusnya independen dan berjuang untuk kepentingan mahasiswa, justru dijadikan alat untuk memperkuat kekuasaan atau kepentingan politik pihak tertentu.
Salah satu dampak terbesar dari kontrol pejabat kampus terhadap organisasi mahasiswa adalah hilangnya idealisme mahasiswa. Pada awalnya, mahasiswa bergabung dalam organisasi untuk belajar, mengembangkan kemampuan kepemimpinan, dan berjuang demi keadilan sosial. Namun, ketika organisasi tersebut mulai dikendalikan oleh pihak kampus atau elite politik, semangat tersebut perlahan memudar.
Sebagai contoh, banyak kegiatan yang dulunya berfokus pada advokasi hak-hak mahasiswa atau memperjuangkan perbaikan sistem pendidikan, kini lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan seremonial yang kurang bermakna. Seminar, workshop, atau kegiatan yang lebih bersifat formal menjadi agenda utama, sementara kegiatan-kegiatan yang lebih substantif dan kritis mulai ditinggalkan. Ini menandakan bahwa organisasi mahasiswa telah bergeser dari perannya sebagai motor penggerak perubahan sosial menjadi sekadar alat untuk memenuhi agenda pejabat kampus.
Melihat realitas yang ada, penting bagi mahasiswa untuk kembali merefleksikan peran mereka sebagai agen perubahan. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengembalikan independensi organisasi mahasiswa dan memastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi boneka bagi pejabat kampus.
Organisasi mahasiswa perlu berjuang untuk mendapatkan dana secara transparan dan mandiri. Mereka bisa mencari sponsor dari pihak luar kampus yang netral atau bahkan menggalang dana dari anggotanya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi tergantung pada pejabat kampus yang bisa memanfaatkan dana sebagai alat kendali.
Pemilihan pemimpin organisasi mahasiswa tetap dilakukan secara demokratis dan transparan. Mahasiswa harus memastikan bahwa tidak ada campur tangan dari pihak luar, termasuk pejabat kampus. Jika perlu, pengawasan dari pihak ketiga yang netral bisa dihadirkan untuk memastikan bahwa proses pemilihan berjalan adil.
Mahasiswa harus terus diajak untuk berpikir kritis dan memahami peran penting mereka dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di kampus. Kegiatan diskusi, debat, dan pelatihan kepemimpinan yang kritis harus terus digalakkan agar mahasiswa tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan luar.
Organisasi mahasiswa harus memperkuat peran mereka sebagai pengawas kebijakan kampus. Jika ada kebijakan yang dirasa tidak adil atau merugikan mahasiswa, mereka harus berani menyuarakan keberatan dan memperjuangkan perubahan.
Pada akhirnya, peran organisasi mahasiswa adalah sebagai agen perubahan yang berjuang untuk kepentingan mahasiswa dan masyarakat luas. Organisasi mahasiswa harus tetap independen dan tidak menjadi boneka bagi pejabat kampus atau elite politik tertentu. Jika independensi ini berhasil dipertahankan, api perjuangan mahasiswa akan tetap hidup dan terus menjadi kekuatan pendorong perubahan di masa depan. *