AKHIR-AKHIR ini, informasi tentang pendidikan mengisi pemberitaan di media. Di media sosial sempat menjadi trending topic, perbincangan mengenai pesohor mendapatkan gelar doctor honoris causa oleh salah satu perguruan tinggi di luar Indonesia. Sedangkan media massa sering mengangkat isu tentang pendidikan mulai dari kurikulum pendidikan, pemberian gelar doctor honoris causa, sampai isu tentang gelar guru besar.
Dalam diskursus akademik, gelar guru besar selalu diasosiasikan dengan prestise tertinggi. Guru besar itu merupakan jabatan fungsional tertinggi dalam akademik. Untuk mencapainya, akademisi harus memenuhi sejumlah persyaratan. Bahkan, salah satu akademisi senior mengatakan, “Guru Besar itu seperti jenderal bintang lima di lingkungan akademik”. Namun, fenomena yang kita saksikan akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan: apakah gelar ini masih mempertahankan prestisenya, atau justru telah terjebak dalam banalitas?
Untuk memahami dilema ini, kita perlu menyelami makna “prestise” dan “banalitas”. Prestise, menurut sosiolog Pierre Bourdieu, adalah bentuk “modal simbolik” yang memberikan otoritas dan pengakuan dalam suatu bidang. Dalam konteks akademik, prestise guru besar seharusnya mencerminkan pencapaian intelektual luar biasa dan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, konsep “banalitas” yang dipopulerkan oleh filsuf Hannah Arendt merujuk pada situasi di mana sesuatu yang seharusnya luar biasa menjadi biasa-biasa saja, bahkan cenderung dangkal. Arendt, dalam karyanya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana kejahatan bisa menjadi sesuatu yang biasa dan tidak dipikirkan.
Dalam konteks gelar guru besar, banalitas terjadi ketika gelar ini kehilangan makna substansialnya (peyoratif) dan menjadi sekadar formalitas atau pencapaian administratif.
Prof. Dr. Satrio Sumantri Brodjonegoro, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, pernah mengatakan, “Gelar guru besar bukan sekadar hadiah, melainkan amanah dan tanggung jawab besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat.” Pernyataan ini menegaskan bahwa prestise gelar guru besar seharusnya berakar pada tanggung jawab intelektual dan sosial, bukan sekadar pada gelar itu sendiri.
Namun, realitas yang kita hadapi saat ini seolah bergeser dari idealisme tersebut. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, jumlah guru besar di Indonesia meningkat sekitar 5% setiap tahunnya dalam dekade terakhir. Peningkatan kuantitatif ini, sayangnya, tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas.
Dr. Denny Indrayana, pakar hukum tata negara, dalam sebuah artikelnya di Kompas (2023) menyoroti, “Kita menghadapi dilema antara kebutuhan kuantitatif dan tuntutan kualitatif. Namun, jangan sampai gelar guru besar menjadi sekadar formalitas tanpa substansi.” Pernyataan ini menggambarkan ketegangan antara upaya mempertahankan prestise dan kecenderungan menuju banalitas.
Fenomena banalitas gelar guru besar ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, adanya tekanan bagi perguruan tinggi untuk memenuhi kuota guru besar demi meningkatkan akreditasi. Kedua, proses pengangkatan yang tak lepas dari unsur politis. Ketiga, fokus yang berlebihan pada kuantitas publikasi, bukan pada kualitas penelitian dan dampaknya terhadap masyarakat.
Prof. Dr. Mayling Oey-Gardiner, sosiolog dari Universitas Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan Tempo (2022) menegaskan, “Publikasi memang penting, tapi jangan sampai menjadi ‘publish or perish‘ yang mengabaikan esensi penelitian dan pengabdian masyarakat.” Pernyataan ini mengandung konsekuensi logis kepada sistem yang dibangun potensial mendorong banalitas dengan mengedepankan kuantitas di atas kualitas.
Dampak dari banalitas ini cukup mengkhawatirkan. Gelar yang seharusnya mencerminkan pencapaian tertinggi dalam dunia akademik kini terancam kehilangan maknanya. Prestise yang seharusnya melekat pada gelar guru besar mulai terkikis, digantikan oleh persepsi bahwa gelar tersebut bisa diraih melalui serangkaian prosedur administratif semata.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, dalam sebuah seminar pendidikan tinggi pada 2023 menyatakan, “Kita perlu memikirkan kembali makna guru besar. Bukan hanya sebagai gelar, melainkan sebagai teladan intelektual dan moral bagi generasi penerus.” Pernyataan ini menekankan perlunya kembali ke esensi prestise yang sebenarnya dari gelar guru besar.
Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan reformasi sistemik dalam proses pengangkatan dan evaluasi guru besar. Sofian Effendi, mantan Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, dalam sebuah artikel di Jurnal Kebijakan Pendidikan (2023) menyarankan, “Kita perlu sistem penilaian yang lebih komprehensif, yang tidak hanya melihat jumlah publikasi, tapi juga dampak riil dari penelitian dan pengajaran seorang calon guru besar.”
Pada akhirnya, mempertahankan prestise gelar guru besar bukan hanya tentang membatasi jumlah penerimanya, melainkan lebih pada memastikan bahwa setiap penyandang gelar tersebut benar-benar mencerminkan keunggulan akademik dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat. Hanya dengan demikian kita dapat menghindari jebakan banalitas dan memastikan bahwa gelar guru besar tetap menjadi simbol prestise yang autentik dalam dunia akademik. *