• LAMPOST.CO
  • METROTV LAMPUNG
  • DESAKU
  • SUMA.ID
Kamis, Juli 3, 2025
Berlangganan
Konfirmasi
  • Masuk
  • LAPORAN UTAMA
  • EKONOMI
  • KOTA
  • RUWA JURAI
  • PENDIDIKAN
  • LAMBAN PILKADA
  • RAGAM
  • DESA
  • OPINI
  • FOKUS
  • E-PAPER
  • INDEKS
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • LAPORAN UTAMA
  • EKONOMI
  • KOTA
  • RUWA JURAI
  • PENDIDIKAN
  • LAMBAN PILKADA
  • RAGAM
  • DESA
  • OPINI
  • FOKUS
  • E-PAPER
  • INDEKS
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • Berlangganan
  • E-Paper
  • Indeks
  • Log in
Beranda Kolom

Makna Gelar Guru Besar: Antara Prestise dan Banalitas

Vito Frasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lampung

wiji Editor wiji
6 Oktober 2024
di dalam Kolom, Opini
A A
Ilustrasi: Google

Ilustrasi: Google

Share on FacebookShare on Twitter

AKHIR-AKHIR ini, informasi tentang pendidikan mengisi pemberitaan di media. Di media sosial sempat menjadi trending topic, perbincangan mengenai pesohor mendapatkan gelar doctor honoris causa oleh salah satu perguruan tinggi di luar Indonesia. Sedangkan media massa sering mengangkat isu tentang pendidikan mulai dari kurikulum pendidikan, pemberian gelar doctor honoris causa, sampai isu tentang gelar guru besar.

Dalam diskursus akademik, gelar guru besar selalu diasosiasikan dengan prestise tertinggi. Guru besar itu merupakan jabatan fungsional tertinggi dalam akademik. Untuk mencapainya, akademisi harus memenuhi sejumlah persyaratan. Bahkan, salah satu akademisi senior mengatakan, “Guru Besar itu seperti jenderal bintang lima di lingkungan akademik”. Namun, fenomena yang kita saksikan akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan: apakah gelar ini masih mempertahankan prestisenya, atau justru telah terjebak dalam banalitas?

Untuk memahami dilema ini, kita perlu menyelami makna “prestise” dan “banalitas”. Prestise, menurut sosiolog Pierre Bourdieu, adalah bentuk “modal simbolik” yang memberikan otoritas dan pengakuan dalam suatu bidang. Dalam konteks akademik, prestise guru besar seharusnya mencerminkan pencapaian intelektual luar biasa dan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan.

BACA JUGA

Dari Jari-Jari Kecil ke Dunia Teknologi

Mengurai Benang Kusut Banjir di Bandar Lampung

Sepak Bola untuk Persatuan

Jitu Menekan Angka Kejahatan

Di sisi lain, konsep “banalitas” yang dipopulerkan oleh filsuf Hannah Arendt merujuk pada situasi di mana sesuatu yang seharusnya luar biasa menjadi biasa-biasa saja, bahkan cenderung dangkal. Arendt, dalam karyanya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana kejahatan bisa menjadi sesuatu yang biasa dan tidak dipikirkan.

Dalam konteks gelar guru besar, banalitas terjadi ketika gelar ini kehilangan makna substansialnya (peyoratif) dan menjadi sekadar formalitas atau pencapaian administratif.

Prof. Dr. Satrio Sumantri Brodjonegoro, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, pernah mengatakan, “Gelar guru besar bukan sekadar hadiah, melainkan amanah dan tanggung jawab besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat.” Pernyataan ini menegaskan bahwa prestise gelar guru besar seharusnya berakar pada tanggung jawab intelektual dan sosial, bukan sekadar pada gelar itu sendiri.

Namun, realitas yang kita hadapi saat ini seolah bergeser dari idealisme tersebut. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, jumlah guru besar di Indonesia meningkat sekitar 5% setiap tahunnya dalam dekade terakhir. Peningkatan kuantitatif ini, sayangnya, tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas.

Dr. Denny Indrayana, pakar hukum tata negara, dalam sebuah artikelnya di Kompas (2023) menyoroti, “Kita menghadapi dilema antara kebutuhan kuantitatif dan tuntutan kualitatif. Namun, jangan sampai gelar guru besar menjadi sekadar formalitas tanpa substansi.” Pernyataan ini menggambarkan ketegangan antara upaya mempertahankan prestise dan kecenderungan menuju banalitas.

Fenomena banalitas gelar guru besar ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, adanya tekanan bagi perguruan tinggi untuk memenuhi kuota guru besar demi meningkatkan akreditasi. Kedua, proses pengangkatan yang tak lepas dari unsur politis. Ketiga, fokus yang berlebihan pada kuantitas publikasi, bukan pada kualitas penelitian dan dampaknya terhadap masyarakat.

Prof. Dr. Mayling Oey-Gardiner, sosiolog dari Universitas Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan Tempo (2022) menegaskan, “Publikasi memang penting, tapi jangan sampai menjadi ‘publish or perish‘ yang mengabaikan esensi penelitian dan pengabdian masyarakat.” Pernyataan ini mengandung konsekuensi logis kepada sistem yang dibangun potensial mendorong banalitas dengan mengedepankan kuantitas di atas kualitas.

Dampak dari banalitas ini cukup mengkhawatirkan. Gelar yang seharusnya mencerminkan pencapaian tertinggi dalam dunia akademik kini terancam kehilangan maknanya. Prestise yang seharusnya melekat pada gelar guru besar mulai terkikis, digantikan oleh persepsi bahwa gelar tersebut bisa diraih melalui serangkaian prosedur administratif semata.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, dalam sebuah seminar pendidikan tinggi pada 2023 menyatakan, “Kita perlu memikirkan kembali makna guru besar. Bukan hanya sebagai gelar, melainkan sebagai teladan intelektual dan moral bagi generasi penerus.” Pernyataan ini menekankan perlunya kembali ke esensi prestise yang sebenarnya dari gelar guru besar.

Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan reformasi sistemik dalam proses pengangkatan dan evaluasi guru besar. Sofian Effendi, mantan Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, dalam sebuah artikel di Jurnal Kebijakan Pendidikan (2023) menyarankan, “Kita perlu sistem penilaian yang lebih komprehensif, yang tidak hanya melihat jumlah publikasi, tapi juga dampak riil dari penelitian dan pengajaran seorang calon guru besar.”

Pada akhirnya, mempertahankan prestise gelar guru besar bukan hanya tentang membatasi jumlah penerimanya, melainkan lebih pada memastikan bahwa setiap penyandang gelar tersebut benar-benar mencerminkan keunggulan akademik dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat. Hanya dengan demikian kita dapat menghindari jebakan banalitas dan memastikan bahwa gelar guru besar tetap menjadi simbol prestise yang autentik dalam dunia akademik. *

Tags: Guru BesarpendidikanPerguruan Tinggi
berbagiTweetMengirim
Posting Sebelumnya

Koran Digital Lampung Post, Edisi Weekend, 06 Oktober 2024

Posting berikutnya

Menghentikan Kekerasan Seksual di Pesantren

wiji

wiji

Posting berikutnya
FOTO: ANTARA

Menghentikan Kekerasan Seksual di Pesantren

Koran Digital Lampung Post, Edisi Senin, 07 Oktober 2024

Pemprov Lampung Rehabilitasi Jalan Kuripan-Kotaagung

Pemprov Lampung Rehabilitasi Jalan Kuripan-Kotaagung

Hingga September 2024 Terjadi 246 Kasus Diare di Pesisir Barat

Hingga September 2024 Terjadi 246 Kasus Diare di Pesisir Barat

Pastikan Pertalite Tepat Sasaran

Pastikan Pertalite Tepat Sasaran

BERITA TERBARU

  • Indonesia Lolos Langsung ke Piala Asia U-17 2026 3 Juli 2025
  • Real Madrid Tantang Dortmund di Perempat Final 3 Juli 2025
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Kamis, 03 Juli 2025 3 Juli 2025
  • Taufik Hidayat, Bawa Energi Baru untuk KONI Lampung 2 Juli 2025
  • RD Besut Liga Indonesia All Star di Piala Presiden 2 Juli 2025

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

  • BPK periksa polres lamtim

    BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 02 Juli 2025

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Sabtu, 28 Juni 2025

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Senin, 30 Juni 2025

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
Facebook Twitter Youtube RSS Instagram

Tentang Kami

 

LampungpostID adalah laman berita resmi Harian Umum Lampung Post. Laman ini berada dalam naungan PT Masa Kini Mandiri, penerbit Koran Lampung Post yang menyajikan informasi berkualitas untuk melengkapi kehadiran koran edisi cetak di masyarakat.

Alamat Kami

PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno – Hatta No. 108, Hajimena, Lampung Selatan

Phone : (0721) 783-693
Fax : (0721) 783-578
Email : redaksi@lampungpost.co.id

Redaksi
Tentang Kami

Iklan & Sirkulasi

Bachtiar Al Amin : 0812-7339-8855
Ja’far Shodiq : 0812-1811-4344
Dat S Ginting 0822-6991-0113
Setiaji B. Pamungkas : 0813-6630-4630

LampungpostID © 2022

Selamat Datang kembali!

Masuk ke akun Anda di bawah ini

Password yang terlupakan?

Ambil kata sandi Anda

Silakan masukkan nama pengguna atau alamat email Anda untuk mengatur ulang kata sandi Anda.

Masuk
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • LAPORAN UTAMA
  • EKONOMI
  • KOTA
  • RUWA JURAI
  • PENDIDIKAN
  • LAMBAN PILKADA
  • RAGAM
  • DESA
  • OPINI
  • FOKUS
  • E-PAPER
  • INDEKS

LampungpostID © 2022

Open chat
1
Anda butuh bantuan ?
Admin Lampungpost.id
Halo, ada yang bisa kami bantu ?