Hendry Sihaloho
Jurnalis
Pengadilan Negeri (PN) Sukadana Kelas II menjatuhkan putusan sela perkara ke-
kerasan seksual yang menyeret Dian Ansori (51), oknum anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, Selasa (3/11). Dalam putusannya, majelis hakim menolak eksepsi kuasa hukum Dian. Artinya, persidangan tetap berjalan dan akan memasuki materi pokok perkara.
Vonis itu menandai babak baru ihwal perkara tersebut. Kini, bola bergulir di PN Sukadana. Apakah majelis hakim mampu mengungkap kasus itu secara terang-benderang dengan segala anasirnya? Sebagaimana diketahui, kasus tersebut menjadi perbincangan publik dan mendapat sorotan tajam dari media, baik lokal maupun nasional. Seorang
anak yang baru lulus sekolah dasar diperkosa pendampingnya. Dian Ansori—tercatat sebagai anggota Divisi Hukum, Pendidikan, dan Medis P2TP2A Lampung Timur—dilaporkan memerkosa penyintas yang tengah menjalani pemulihan akibat
diperkosa pamannya sendiri.
Dalam satu dekade terakhir tidak pernah terdengar kasus kekerasan seksual, baik di Lampung maupun nasional, yang melibatkan pembela anak dan perempuan. Mereka yang seharusnya memberi perlindungan justru menjadi pelaku.
Itu sebabnya, apa yang terjadi di Lampung Timur menyentak nurani publik.
Saya pernah menulis di koran ini bahwa kekerasan seksual di Lampung Timur mesti dipandang sebagai persoalan struktural. Setidaknya ada
empat hal, yaitu kemiskinan, relasi kuasa, ketimpangan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan.
(Kekerasan Seksual Persoalan Struktural, Lampung Post, Sabtu, 8 Agustus 2020).
Selama penyidikan, perkara tersebut ditangani Polda Lampung. Berdasar pengalaman, biasanya perkara yang diusut Polda dilimpahkan ke Kejati
Lampung dan persidangan di PN Tanjungkarang. Namun, entah mengapa pengadilan terhadap pelaku berlangsung di Lampung Timur. Selain itu, penyintas dan keluarganya dipindahkan ke Lampung Timur. Tadinya, penyintas berada
di rumah aman di Bandar Lampung. Kita tahu bahwa Lampung Timur tak memiliki rumah aman.
Padahal, penyintas perlu berada di rumah aman, terlebih perkaranya masih dalam proses hukum. Selain remedial, keberadaan penyintas di rumah
aman untuk melindungi dari segala potensi, termasuk upaya mengintervensi penegakan hukum. Ada kekhawatiran penyintas dan keluarganya dipengaruhi oleh pihak-pihak berkepentingan.
Persidangan segera memasuki materi pokok perkara. Jaksa bertindak sebagai pengacara negara. Ia mewakili dan mempertahankan kekuasaan negara serta memperjuangkan kepentingan umum. Artinya, jaksa menyulih kepentingan penyintas. Dengan kata lain, jaksa bisa meminta penyintas dikembalikan ke rumah aman.
Demikian pula dengan hakim. Melalui kuasanya, hakim dapat memerintahkan pengembalian penyintas ke rumah aman. Sebab, pemulihan penyintas, baik secara psikis maupun sosial, juga penting. Hal itu, bisa dilakukan secara maksimal
bila penyintas berada di rumah aman.
Pemindahan penyintas serta perkaranya ke Lampung Timur dapat mempersulit pemantauan. Sebab, kasus itu terbilang pelik karena banyak anasir. Ada dugaan keterlibatan oknum aparat, pemerasan berkedok perdamaian, serta indikasi
perdagangan orang.
Mengapa kasus itu perlu dikawal? Sebab, ia adalah tonggak keadilan bagi penyintas kekerasan seksual. Keadilan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Juga batu ujian terhadap nurani kekuasaan. Semoga persidangan dapat membuka tabir perkara ini.
Selain proses hukum, perlu juga menagih
janji dan komitmen Pemerintah Provinsi Lampung terkait perlindungan perempuan dan anak. Sebab, mereka adalah kelompok rentan dalam kekerasan seksual. Terlebih, perlindungan perempuan dan
anak merupakan salah satu dari 33 janji kerja Gubernur Lampung Arinal Djunaidi dan Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim. Barangkali tidak berlebihan bila meminta pemangku kepentingan bertindak secara konkret dan optimal. Nunik adalah pemimpin perempuan yang punya otoritas tinggi dalam mengambil kebijakan. Dengan kuasanya, ia bisa mendorong dan menjadikan kasus itu sebagai preseden pengungkapan segala kekerasan seksual berkeadilan gender. Ia juga mantan Bupati Lampung Timur.
Entah kebetulan atau tidak, PN Sukadana—tempat menyidangkan perkara tersebut—juga dipimpin seorang perempuan, yakni Etik Purwaningsih. Saya hakulyakin etik akan berperilaku adil, arif, dan bertindak profesional kendati yang
menjadi korban adalah perempuan.
Lampung punya Wakil Gubernur perempuan,
Ketua Pengadilan perempuan, dan bocah yang menanti keadilan juga perempuan. Sekarang, mari kita lihat perkembangan perkara ini.