PRINSIP hidup orang Jawa “alon-alon waton kelakon” (pelan-pelan saja, yang penting bisa terlaksana) seolah ditegaskan oleh Carl Honore dalam bukunya In Praise the of Slow (2004). Dalam buku itu, Honore mendeskripsikan tekanan besar terhadap masyarakat modern untuk selalu bergegas dalam menjalani kehidupan. Ia kemudian mendokumentasikan gerakan global untuk merangkul laju kehidupan yang lebih pelan.
Buku tersebut berfungsi sebagai manifesto Gerakan Lambat yang mengadvokasi pendekatan yang lebih sadar dan disengaja terhadap proses kehidupan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan menjadi salah satu buku terlaris di berbagai negara. Dalam tulisan ini, penulis mengangkat relevansi gagasan Honore di tengah kehidupan modern yang semakin memuja kecepatan.
Kecepatan yang Sesuai
Karya Honore itu menantang gagasan umum yang berlaku bahwa lebih cepat itu selalu lebih baik, dan sebaliknya ia menekankan pentingnya melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang sesuai– entah cepat atau lambat–untuk mencapai hasil optimal.
Memperlambat bukan berarti mandeg, melainkan berarti hadir sepenuhnya di setiap momen dengan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas dalam semua aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan hingga relasi. Gerakan lambat seperti yang dianjurkan Honore tidak menentang kecepatan. Honore mengakui bahwa kecepatan bisa menyenangkan hati orang, tetapi tidak berarti bahwa lebih cepat itu selalu lebih baik.
Melambat berarti mengerjakan segala sesuatu pada kecepatan yang pas untuk hasil yang optimal. Hal ini membuat si individu untuk sepenuhnya terlibat dan menikmati setiap proses serta pengalaman kerjanya tanpa terburu-buru dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Obsesi terhadap Kecepatan
Menurut Honore, obsesi masyarakat modern terhadap kecepatan telah melampaui tingkat akal sehat. Hal ini jelas tecermin, mulai dari kelas speed yoga hingga drive-thru funerals. Budaya tergesa-gesa sudah meresapi seluruh aspek kehidupan manusia modern.
Obsesi terhadap kecepatan yang berlangsung tanpa henti ini menyebabkan apa yang disebut Honore sebagai speedaholism, ketika orang seperti kecanduan untuk terus-menerus merasa terburu-buru tanpa bisa benar-benar mengalami atau menghargai aktivitas mereka sendiri.
Kesadaran pribadi Honore mengenai fenomena ini muncul ketika dia sendiri menyadari bahwa ia selalu tergesa-gesa dalam menjalani hidup. Pengalaman kebangkitan itu terjadi pada dirinya setelah ia membaca sebuah buku yang memadatkan cerita pengantar tidur menjadi bacaan satu menit.
Sejak itu, ia terdorong untuk mengevaluasi pendekatan pribadinya terhadap kehidupan dan menuntunnya untuk mengadvokasi prinsip hidup pelan sebagai sarana untuk sepenuhnya mengalami dan menikmati hidup. Dia mengakui bahwa dengan merangkul perlambatan, pengalaman hidup hariannya berubah. Dia tidak lagi merasa terburu-buru, tetapi sebaliknya, ia menemukan kepuasan yang lebih besar dalam lebih sedikit kegiatan yang dilakukannya dengan baik.
Menurut kesaksiannya, melambat justru menghemat energi, meningkatkan kesehatan, produktivitas, kreativitas, dan mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup yang lebih dengan lebih sederhana tanpa tergesa-gesa.
Dengan meluangkan waktu untuk terlibat sepenuhnya pada momen-momen seperti membaca untuk anak-anak, bersama menyaksikan matahari terbit dan terbenam, atau bercocok tanam, ia merasa lebih terhubung dengan kehidupannya itu sendiri.
Budaya Organisasi Modern
Ketakutan justru menghalangi kita untuk menerima gerakan perlambatan gegara stigma negatif masyarakat terhadap perlambatan itu sendiri. Rasa takut ketinggalan mendorong orang untuk mempertahankan bahkan menambah kecepatan karena kecemasan atau rasa bersalah yang muncul akibat perlambatan.
Kini di berbagai organisasi dengan manajemen berpikiran maju, unsur-unsur Gerakan Lambat mulai diterapkan ke dalam budaya organisasi. Dengan memberi peluang bagi karyawan untuk lebih mengontrol jadwal mereka, membatasi jam kerja, menyediakan ruang untuk kegiatan relaksasi, seperti yoga, istirahat siang, atau meditasi selama jam kerja. Organisasi modern semacam itu mengakui nilai keseimbangan antara produktivitas yang serbacepat dan keterlibatan yang penuh dari para pekerjanya.
Prinsip Hidup Melambat
Gerakan Lambat merupakan pergeseran budaya menuju cara hidup lebih sadar dan disengaja. Hal ini dengan sendirinya mendorong orang untuk melawan tekanan kehidupan modern terhadap kecepatan dan mulai mengutamakan kualitas daripada kuantitas.
Gerakan ini tidak terbatas pada kehidupan pedesaan, tetapi juga bisa diterapkan pada pengaturan kehidupan perkotaan. Hidup lebih pelan dapat sesuai dengan kehidupan kota karena justru dengan ini orang lebih menikmati kesibukannya sendiri.
Terlepas dari kecanduan masyarakat terhadap kecepatan dan kemudahan yang disediakan teknologi, masih ada harapan untuk beralih kepada kehidupan yang lambat. Menurut Honore, ia telah menyaksikan pertumbuhan gerakan lambat secara langsung dan percaya bahwa gerakan itu dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pemecahan berbagai krisis eksistensial dengan turbo-kapitalisme dan konsumerisme.
Dengan mengadopsi prinsip hidup lambat, orang dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana tentang kebiasaan konsumsi mereka, yang mengarah pada pengurangan limbah dan dampak lingkungan.
Selain itu, perusahaan yang menganut prinsip-prinsip lambat dapat memperoleh manfaat dari peningkatan produktivitas karena lebih sedikit kesalahan di tempat kerja, peningkatan kreativitas, peningkatan kemampuan pemecahan masalah, dan kesejahteraan karyawan yang lebih baik secara keseluruhan. *