• LAMPOST.CO
  • METROTV LAMPUNG
  • DESAKU
  • SUMA.ID
Senin, Juli 7, 2025
Berlangganan
Konfirmasi
  • Masuk
  • LAPORAN UTAMA
  • EKONOMI
  • KOTA
  • RUWA JURAI
  • PENDIDIKAN
  • LAMBAN PILKADA
  • RAGAM
  • DESA
  • OPINI
  • FOKUS
  • E-PAPER
  • INDEKS
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • LAPORAN UTAMA
  • EKONOMI
  • KOTA
  • RUWA JURAI
  • PENDIDIKAN
  • LAMBAN PILKADA
  • RAGAM
  • DESA
  • OPINI
  • FOKUS
  • E-PAPER
  • INDEKS
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • Berlangganan
  • E-Paper
  • Indeks
  • Log in
Beranda Baca Gratis

Nachtwey

Wandi Barboy Editor Wandi Barboy
26 Januari 2023
di dalam Baca Gratis, Refleksi
A A
Ahmad dan Kamil

Abdul Gafur (Wartawan Lampung Post) LAMUNG POST/DOK.

Share on FacebookShare on Twitter

Abdul Gafur
Jurnalis Lampung Post

DALAM film satu jam 36 menit, War Photographer, kita tak hanya menyaksikan betapa kejamnya perang, melainkan juga etika dasar jurnalisme. Nachtwey selalu menundukkan kameranya kala memasuki ruang privat. Ia baru membidikkan lensa bilamana si empunya ruang mempersilakan.

War Photographer merupakan besutan sutradara Christian Frei. Film ini bisa dikatakan sebuah film bergenre dokumenter yang mengisahkan seorang jurnalis foto, James Nachtwey. Ia merupakan seorang warga Amerika Serikat yang selama 20 tahun dikenal sebagai fotografer perang jempolan.

BACA JUGA

Efisiensi Anggaran Harusnya Tak PHK Pegawai

Menimbang Investasi Crypto Biar Jadi Cuan

OJK Lampung Perkuat Layanan Pemberantasan Keuangan Ilegal

Jalan Militer Prabowo

Saya menikmati film ini kali pertama dalam sebuah kelas jurnalisme yang menghadirkan Andreas Harsono. Mas Andreas merupakan pengampu majalah PANTAU. Ia juga dikenaal sebagai penyunting buku Sembilan Elemen Jurnalisme (2001) versi Bahasa Indonesia karya Kovach dan Rosenstiel.

Sebagai fasilitator kelas Etika Juirnalisme, Mas Andreas, sapaan akrab anak-anak pers mahasiswa kepadanya, mengajak kami mencermati menit demi menit War Photographer lalu berdiskusi bersama. Pria Tiongkok berlogat Jawa kental ini mengajak kami menyingkap berbagai hal tersirat.

Salah satu adegan yang agak saya ingat melekat kala Nachtwey memasuki pelataran romah di daerah peperangan. Kamera menyorot nenek berkerudung menangis dan meratapi sesosok jasad. Ia nampak memperkenalkan diri dan memina izin mengambil foto. Barulah kemudian ia menjepret.

Begitulah laku jurnalis perang berambut putih ini. Menyaksikan momen dramatis ia tak lantas segera beraksi. Nachtwey sadar ia memasuki ruang privat dari keluarga korban perang yang tengah berduka dan mempersiapkan prosesi pemakaman salah satu anggota keluarga yang menjadi korban perang.

Beberapa menit berlalu. Momen dengan konteks serupa kembali berulang. Namun, kali ini warga yang ia datangi lantas berseru “No Foto. No Foto,” seraya menghadapkan telapak tangannya ke Nachtwey. Penyabet penghargaan tinggi World Press Photo sebanyak dua kali ini mengangguk.

Nachtwey tidak mengambil gambari. Ia hanya menyaksikan kepiluan dari tragedi yang tengah terjadi di depan matanya. DI sela-sela fim ada monolog Nachtwey. Ia menyatakan jurnalis perang terjun mengambil risiko sekaligus memberi pesan bahwa perdamaian adalah sesuatu amat berharga.

Pesan berharga amat berkesan bagi saya. Betapa pun kesempatan, momen, atau peristiwa terbaik itu tidak mungkin berulang, betapa pun ia memiliki motivasi dan tujuan mulia dalam bekerja, Ia tidak lantas mencampakkan etika jurnalisme yang ia pengang teguh. Ia justru menggenggamnya erat.

*

Perihal ruang privat dan ruang publik saya teringat petuah Bang Gaudensius Suhardi kala menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Lampung Post. Seorang jurnalis harus bisa membedakan ruang privat dan publik. Wartawan leluasa di ruang publik namun berbatas di ruang privat. Tak paham ini bisa gawat.

Dalam sebuah diskusi kelas etika jurnalisme yang berbeda sebuah pertanyaan menarik muncul. Bagaimana jika jurnalis mencuri informasi? Mencuri informasi penting bagi publik. Bukti korupsi misalnya. Untuk itu jurnalis harus lompat pagar atau menerobos apartemen, mengambil diam-diam.

Untuk contoh kasus satu ini beragam pendapat mengemuka. Ada yang berpendapat itu sah saja karea atas nama kepentingan publik. Kalau saya pribadi berpandangan mencuri dokumen tetap tidak bisa dibenarkan. Apakah sudah tidak ada jalan lain menggali informasi selain dengan mencuri?

Sudah menerobos ruang privat ditambah mencuri pula. Hemat saya jika ini dibenarkan sudah praktik vigilante namanya. Sudah menghempaskan etika dalam jurnalisme apa lagi melanggar hukum positif pula. Percaya lah jika pewarta tak piawai memahami hal-hal dasar ini dunia bisa runyam dibuatnya.

Aksi vigilante paling aman itu hanya ada di dunia komik. Detektif terbaik di dunia DC yakni Batman misalnya bisa seenaknya masuk pabrik, kantor, apartemen, menyelidiki, mengumpulkan barang bukti, menggeledah tanpa surat perintah. Itu dikomik bos! Jika didunia nyata begini cilaka ente.

Jika diumpamakan etika dalam jurnalisme ibarat bintang-bintang di langit. Andreas mengibaratkan Sembilan Elemen Jurnalisme demikian. Buku yang menjadi panduan bagi insan jurnalis dunia ini bak bintang petunjuk arah bagi para pelaut agar tidak salah arah dalam berlayar hingga berlabuh.

Perumpamaan lainnya jurnalisme itu bak pisau bermata dua. Jika tidak dipegang dengan kode etik ia tidak hanya bisa melukai yang memegang melainkan juga bisa melukai orang lain. Jurnalis senior Bambang Eka Wijaya pernah juga bernasehat etik itu melindungi publik sekaligus jurnalis itu sendiri

Menganalogikan etika jurnalistik ini ternyata banyak ragamnya. Saya pribadi mengumpamakan hal ini seperti rambu rambu lalu lintas yang memandu para pengguna jalan. Jika taat rambu Insya Allah selamat. Sebaliknya jika Anda nekat menerabas lampu merah misalnya ya siap-siap saja celaka.

*

Kita tentu masih ingat kisah kecelakaan maut Putri Diana dan Doddy Al Fayet di terowongan Place de I’Alma, Paris Perancis pada 1997 silam. Pemicunya adalah aksi kejar kejaran mobbil yang ditumpangi dua sejoli ini dengan paparazzi. Pendek kata aksi berburu privasi orang ini berujung tragedi.

Mereka bahkan memilih menyalakan blitz ketimbang memberikan reaksi penyelamatan pertama di lokasi kejadian. Dalam sebuah kelas diskusi Bill Kovach bertanya tajam soal peristiwa ini. Apakah ini jurnalisme? Ia menganalogikan paparazzi itu tak ubahnya burung-burung nazar pemakan bangkai’.

Konon peristiwa di terowongan maut dan maraknya jurnalisme infotainment mendorong Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mewanwancari banyak jurnalis lintas negara. Lantas mereka mengambil saripati hasil interview itu hingga kemudian lahir lah buku legendaris Nine Element of Journalism.

Keduanya jelas ingin mempetegas jurnalisme dan infotainmen termasuk paparazi di dalamnya. Elemen pertama dalam jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran seperi apa? Tentu saja kebenaran prosedural bukan dogmatik. Kebenaran yang digali reporter dari dakta lapangan bukan gosip.

Elemen krusial lain misalnya, jurnalisme bekerja untuk kepentingan publik bukan pengiklan, pun halnya pemodal. Segala sesuatu tindak tanduk jurnalis diukur dengan parameter kepentingan publik. Lantas apa pentingnya gosip murahan yang berada di ruang privat diumbar ke ruang ruang publik?

Jawabnya tentu semata demi sensasi dan efek bombastis. Itu yang dicari paparatzi dan infotainment tapi tidak bagi jurnalisme. Dalam meliput perang Nachtwey mempubilkasikan fotonya dalam format hitam putih. Ia tidak ingin mendramatisir merahnya darah yang kerap nampak untuk memicu sensai.

Dalam mengambil foto pada berbagai sudut lokasi perang, Nachtwey ingin menunjukan pada dunia apa yang sebenarnya terjadi dan menimpa para korban perang. Foto-foto monocrome yang ia hasilkan menjadi penyambung harapan mereka kepada masyarakat dunia agar perang segera diahiri. n

Profil Penulis: Abdul Gafur

Abdul Gafur adalah jurnalis senior Lampung Post yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi sekaligus penanggung jawab utama Lampung Post Group. Sejak 1 Juni 2023, ia dipercaya menggantikan Iskandar Zulkarnain untuk memimpin ekosistem media yang meliputi koran cetak Lampung Post, portal berita Lampost.co, Radio Sai 100 FM, Metro TV Lampung, serta platform media sosial Lampung Post Update.

Lahir di Tanjung Karang pada tahun 1981, perjalanan jurnalistik Gafur dimulai sejak masa kuliah di Universitas Lampung. Ia aktif di Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra, dan pada periode kepengurusan 2004–2005, ia dipercaya menjabat sebagai Pemimpin Umum. Selama di Teknokra, pria yang akrab disapa Pun Agho ini menempuh berbagai pelatihan jurnalistik, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga tingkat pengelola. Pengalaman inilah yang menjadi fondasi kuat dalam karier jurnalistiknya.

Langkah profesionalnya dimulai ketika ia bergabung dengan Harian Umum Lampung Post pada tahun 2009. Saat itu, Pemimpin Redaksi Djadjad Sudradjat membuka ruang rekrutmen bagi talenta muda dari berbagai organisasi pers kampus, termasuk UKPM Teknokra. Pun Agho menjadi salah satu yang terpilih melalui proses ini, dan memulai kiprahnya sebagai reporter magang di kompartemen Humaniora dan Pendidikan.

Sejak saat itu, ia menapaki jenjang karier dengan konsisten dan penuh dedikasi. Ia turut terlibat dalam transformasi digital media tertua di Lampung ini, termasuk peluncuran versi digital Lampung Post berbasis langganan (subscription/membership), penguatan platform Lampost.co, serta pengelolaan kanal media sosial dalam kerangka konvergensi media bersama tim IT dan redaksi.

Selain mengelola redaksi, Pun Agho juga dikenal aktif sebagai trainer dan pemateri dalam berbagai pelatihan jurnalistik serta kehumasan. Ia kerap diundang untuk mengisi kegiatan yang diselenggarakan oleh Lampung Post maupun oleh institusi eksternal, mulai dari kampus, instansi pemerintahan, hingga komunitas masyarakat. Aktivitas ini mencerminkan komitmennya untuk berbagi ilmu dan membangun ekosistem komunikasi publik yang profesional dan bertanggung jawab.

Tak hanya itu, kontribusinya dalam dunia literasi juga ditunjukkan melalui keterlibatannya dalam sejumlah penulisan buku, antara lain Secangkir Kopi Bumi Skala Berak, 50 Tokoh Inspiratif Universitas Lampung, Profil Buku Dewa, serta proyek literasi anak Reporter Cilik Lampung Post. n

Tags: abdul gafurandreas harsonojurnalismenaatchweyPemimpin Redaksi Lampung Postsembilan elemen jurnalismewar photographer
berbagiTweetMengirim
Posting Sebelumnya

Penerima BLT Dana Desa Sabahbalau Tinggal 38 KPM

Posting berikutnya

Kasus Campak di Tanah Air Melesat 32 Kali Lipat

Wandi Barboy

Wandi Barboy

Posting berikutnya
Gejala campak salah satunya muncul ruam merah di bagian tubuh. (Foto:Aladokter)

Kasus Campak di Tanah Air Melesat 32 Kali Lipat

Ribuan dus rokok yang akan diselundurpkan dari Jawa ke Sumatra. (Foto:Lampung Post/Asrul Septian Malik)

Bea Cukai Lampung Gagalkan Penyelundupan Ribuan Rokok dari Jawa

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. (Dok. Kemenag)

Dana Pengembangan Madrasah Harus Dikelola Hati-Hati

Pembelian Gas Elpiji 3 Kg Gunakan KTP Tuai Pro dan Kontra

Pembelian Elpiji 3 Kg Pakai KTP Masih Uji Coba

Kendalikan Inflasi Tekan Kemiskinan

Survei Inflasi Terkendala Anggaran

BERITA TERBARU

  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Weekend, 06 Juli 2025 6 Juli 2025
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Sabtu, 05 Juli 2025 5 Juli 2025
  • Sepak Bola Kehilangan Diogo Jota dan Andrea Silva 5 Juli 2025
  • Liga Indonesia All Star Siap Hadapi Oxford United 5 Juli 2025
  • Satu Pemain Diaspora Baru segera Bergabung 4 Juli 2025

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

  • kantor DPRD lampung Utara

    Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 02 Juli 2025

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Kamis, 03 Juli 2025

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
  • Koran Digital Lampung Post, Edisi Selasa, 01 Juli 2025

    0 shares
    berbagi 0 Tweet 0
Facebook Twitter Youtube RSS Instagram

Tentang Kami

 

LampungpostID adalah laman berita resmi Harian Umum Lampung Post. Laman ini berada dalam naungan PT Masa Kini Mandiri, penerbit Koran Lampung Post yang menyajikan informasi berkualitas untuk melengkapi kehadiran koran edisi cetak di masyarakat.

Alamat Kami

PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno – Hatta No. 108, Hajimena, Lampung Selatan

Phone : (0721) 783-693
Fax : (0721) 783-578
Email : redaksi@lampungpost.co.id

Redaksi
Tentang Kami

Iklan & Sirkulasi

Bachtiar Al Amin : 0812-7339-8855
Ja’far Shodiq : 0812-1811-4344
Dat S Ginting 0822-6991-0113
Setiaji B. Pamungkas : 0813-6630-4630

LampungpostID © 2022

Selamat Datang kembali!

Masuk ke akun Anda di bawah ini

Password yang terlupakan?

Ambil kata sandi Anda

Silakan masukkan nama pengguna atau alamat email Anda untuk mengatur ulang kata sandi Anda.

Masuk
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • LAPORAN UTAMA
  • EKONOMI
  • KOTA
  • RUWA JURAI
  • PENDIDIKAN
  • LAMBAN PILKADA
  • RAGAM
  • DESA
  • OPINI
  • FOKUS
  • E-PAPER
  • INDEKS

LampungpostID © 2022

Open chat
1
Anda butuh bantuan ?
Admin Lampungpost.id
Halo, ada yang bisa kami bantu ?