Abdul Gafur
Jurnalis Lampung Post
DALAM film satu jam 36 menit, War Photographer, kita tak hanya menyaksikan betapa kejamnya perang, melainkan juga etika dasar jurnalisme. Nachtwey selalu menundukkan kameranya kala memasuki ruang privat. Ia baru membidikkan lensa bilamana si empunya ruang mempersilakan.
War Photographer merupakan besutan sutradara Christian Frei. Film ini bisa dikatakan sebuah film bergenre dokumenter yang mengisahkan seorang jurnalis foto, James Nachtwey. Ia merupakan seorang warga Amerika Serikat yang selama 20 tahun dikenal sebagai fotografer perang jempolan.
Saya menikmati film ini kali pertama dalam sebuah kelas jurnalisme yang menghadirkan Andreas Harsono. Mas Andreas merupakan pengampu majalah PANTAU. Ia juga dikenaal sebagai penyunting buku Sembilan Elemen Jurnalisme (2001) versi Bahasa Indonesia karya Kovach dan Rosenstiel.
Sebagai fasilitator kelas Etika Juirnalisme, Mas Andreas, sapaan akrab anak-anak pers mahasiswa kepadanya, mengajak kami mencermati menit demi menit War Photographer lalu berdiskusi bersama. Pria Tiongkok berlogat Jawa kental ini mengajak kami menyingkap berbagai hal tersirat.
Salah satu adegan yang agak saya ingat melekat kala Nachtwey memasuki pelataran romah di daerah peperangan. Kamera menyorot nenek berkerudung menangis dan meratapi sesosok jasad. Ia nampak memperkenalkan diri dan memina izin mengambil foto. Barulah kemudian ia menjepret.
Begitulah laku jurnalis perang berambut putih ini. Menyaksikan momen dramatis ia tak lantas segera beraksi. Nachtwey sadar ia memasuki ruang privat dari keluarga korban perang yang tengah berduka dan mempersiapkan prosesi pemakaman salah satu anggota keluarga yang menjadi korban perang.
Beberapa menit berlalu. Momen dengan konteks serupa kembali berulang. Namun, kali ini warga yang ia datangi lantas berseru “No Foto. No Foto,” seraya menghadapkan telapak tangannya ke Nachtwey. Penyabet penghargaan tinggi World Press Photo sebanyak dua kali ini mengangguk.
Nachtwey tidak mengambil gambari. Ia hanya menyaksikan kepiluan dari tragedi yang tengah terjadi di depan matanya. DI sela-sela fim ada monolog Nachtwey. Ia menyatakan jurnalis perang terjun mengambil risiko sekaligus memberi pesan bahwa perdamaian adalah sesuatu amat berharga.
Pesan berharga amat berkesan bagi saya. Betapa pun kesempatan, momen, atau peristiwa terbaik itu tidak mungkin berulang, betapa pun ia memiliki motivasi dan tujuan mulia dalam bekerja, Ia tidak lantas mencampakkan etika jurnalisme yang ia pengang teguh. Ia justru menggenggamnya erat.
*
Perihal ruang privat dan ruang publik saya teringat petuah Bang Gaudensius Suhardi kala menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Lampung Post. Seorang jurnalis harus bisa membedakan ruang privat dan publik. Wartawan leluasa di ruang publik namun berbatas di ruang privat. Tak paham ini bisa gawat.
Dalam sebuah diskusi kelas etika jurnalisme yang berbeda sebuah pertanyaan menarik muncul. Bagaimana jika jurnalis mencuri informasi? Mencuri informasi penting bagi publik. Bukti korupsi misalnya. Untuk itu jurnalis harus lompat pagar atau menerobos apartemen, mengambil diam-diam.
Untuk contoh kasus satu ini beragam pendapat mengemuka. Ada yang berpendapat itu sah saja karea atas nama kepentingan publik. Kalau saya pribadi berpandangan mencuri dokumen tetap tidak bisa dibenarkan. Apakah sudah tidak ada jalan lain menggali informasi selain dengan mencuri?
Sudah menerobos ruang privat ditambah mencuri pula. Hemat saya jika ini dibenarkan sudah praktik vigilante namanya. Sudah menghempaskan etika dalam jurnalisme apa lagi melanggar hukum positif pula. Percaya lah jika pewarta tak piawai memahami hal-hal dasar ini dunia bisa runyam dibuatnya.
Aksi vigilante paling aman itu hanya ada di dunia komik. Detektif terbaik di dunia DC yakni Batman misalnya bisa seenaknya masuk pabrik, kantor, apartemen, menyelidiki, mengumpulkan barang bukti, menggeledah tanpa surat perintah. Itu dikomik bos! Jika didunia nyata begini cilaka ente.
Jika diumpamakan etika dalam jurnalisme ibarat bintang-bintang di langit. Andreas mengibaratkan Sembilan Elemen Jurnalisme demikian. Buku yang menjadi panduan bagi insan jurnalis dunia ini bak bintang petunjuk arah bagi para pelaut agar tidak salah arah dalam berlayar hingga berlabuh.
Perumpamaan lainnya jurnalisme itu bak pisau bermata dua. Jika tidak dipegang dengan kode etik ia tidak hanya bisa melukai yang memegang melainkan juga bisa melukai orang lain. Jurnalis senior Bambang Eka Wijaya pernah juga bernasehat etik itu melindungi publik sekaligus jurnalis itu sendiri
Menganalogikan etika jurnalistik ini ternyata banyak ragamnya. Saya pribadi mengumpamakan hal ini seperti rambu rambu lalu lintas yang memandu para pengguna jalan. Jika taat rambu Insya Allah selamat. Sebaliknya jika Anda nekat menerabas lampu merah misalnya ya siap-siap saja celaka.
*
Kita tentu masih ingat kisah kecelakaan maut Putri Diana dan Doddy Al Fayet di terowongan Place de I’Alma, Paris Perancis pada 1997 silam. Pemicunya adalah aksi kejar kejaran mobbil yang ditumpangi dua sejoli ini dengan paparazzi. Pendek kata aksi berburu privasi orang ini berujung tragedi.
Mereka bahkan memilih menyalakan blitz ketimbang memberikan reaksi penyelamatan pertama di lokasi kejadian. Dalam sebuah kelas diskusi Bill Kovach bertanya tajam soal peristiwa ini. Apakah ini jurnalisme? Ia menganalogikan paparazzi itu tak ubahnya burung-burung nazar pemakan bangkai’.
Konon peristiwa di terowongan maut dan maraknya jurnalisme infotainment mendorong Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mewanwancari banyak jurnalis lintas negara. Lantas mereka mengambil saripati hasil interview itu hingga kemudian lahir lah buku legendaris Nine Element of Journalism.
Keduanya jelas ingin mempetegas jurnalisme dan infotainmen termasuk paparazi di dalamnya. Elemen pertama dalam jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran seperi apa? Tentu saja kebenaran prosedural bukan dogmatik. Kebenaran yang digali reporter dari dakta lapangan bukan gosip.
Elemen krusial lain misalnya, jurnalisme bekerja untuk kepentingan publik bukan pengiklan, pun halnya pemodal. Segala sesuatu tindak tanduk jurnalis diukur dengan parameter kepentingan publik. Lantas apa pentingnya gosip murahan yang berada di ruang privat diumbar ke ruang ruang publik?
Jawabnya tentu semata demi sensasi dan efek bombastis. Itu yang dicari paparatzi dan infotainment tapi tidak bagi jurnalisme. Dalam meliput perang Nachtwey mempubilkasikan fotonya dalam format hitam putih. Ia tidak ingin mendramatisir merahnya darah yang kerap nampak untuk memicu sensai.
Dalam mengambil foto pada berbagai sudut lokasi perang, Nachtwey ingin menunjukan pada dunia apa yang sebenarnya terjadi dan menimpa para korban perang. Foto-foto monocrome yang ia hasilkan menjadi penyambung harapan mereka kepada masyarakat dunia agar perang segera diahiri. n