
HAMPIR setiap hari anak bangsa di negeri menggunakan fasilitas video call atau berkirim pesan guna menjalin komunikasi agar terawat silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan sanak saudara. Media virtual menjadi pilihan selama lockdown akibat pandemi Covid-19.
Pengalaman menggunakan fasilitas virtual itu banyak disampaikan warga hanya karena tetap menjaga jarak. Mulai dari belajar, rapat, wisuda, juga seminar, hingga kangen-kangenan sesama keluarga dan teman yang nun jauh di sana. “Kangen sama anak dan cucu, cukup video call,” kataku kepada teman yang selalu menawari bepergian untuk melepas kerinduan.
Sangat terasa sekali dampak pandemi Covid-19 ini. Sudah meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian kehidupan. Dengan fasilitas video conference (vicon), zoom meeting, juga video call–aktivitas kantor dan bisnis tidak harus berhenti di tengah jalan akibat corona. Wabah mengglobal itu juga telah memengaruhi pertemanan bahkan hubungan sesama keluarga.
Di Indonesia, menurut hasil riset Snapchat, sebanyak 51% warga di negeri ini tidak dapat melihat teman dan keluarga. Riset mengungkapkan, mereka merasa kesepian akibat pandemi. Kebanyakan masyarakat yang terhubung dengan teman melalui virtual sebesar 72%. Tidak harus bertemu langsung.
Ini fakta yang terjadi sejak Maret lalu hingga November. Friendship Report yang dirilis Snap Inc, baru-baru ini, meriset pertemanan global berdasarkan wawancara terhadap 30 ribu responden di 16 negara termasuk Indonesia, serta wawancara sejumlah pakar global.
Dwi Noverini Djenar dari Associate Profesor and Chair Departement of Indonesian Studies University of Sydney, menjelaskan, menelepon dan mengirim pesan jadi sangat penting dalam membantu menjaga hubungan. Secara global, sebanyak 29% dari responden tetap menjaga jarak akibat Covid-19. Mereka ini sudah melemahkan hubungan pertemanan.
Dari riset itu terungkap juga, setengah responden sangat setuju dengan pernyataan bahwa mereka lebih jauh dari teman. Mereka beralasan tidak bisa menghabiskan waktu bersama secara langsung. Itu jangan salahkan masyarakat jika ada liburan panjang, lebih banyak memilih menghabiskan waktu mengunjungi keluarga.
Berbeda dengan Dwi Noverini. Guru besar antropologi dan sosiologi dari University Sains Malaysia, Nur Hafeeza Ahmad Pazil, mengatakan menjaga jarak sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada hubungan emosional pertemanan, tetapi lebih memungkinkan persahabatan menjadi makin intim dan dekat. Kedua pakar ini berbeda pandangan!
Dalam pandangan pakar dan hasil riset terungkap, persahabatan jarak jauh, tetap intim karena sering kontak dengan menggunakan media sosial–berkirim pesan, terutama video call yang membantu mengaburkan batasan fisik. Pendapat Dwi agaknya tidak sejalan jika warga piawai memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Tidak ada batas lagi dalam dunia maya.
Tapi, bagi masyarakat Indonesia, tidak puas jika tidak pulang ke kampung halaman atau menjenguk keluarga karena kerinduan. Banyaklah fasilitas virtual disediakan, tidak melunturkan semangat warga berlibur panjang. Yang paling ditakutkan akibat cuti bersama adalah tidak disiplinnya warga menerapkan protokol kesehatan, sehingga menimbulkan klaster baru
***
Selama libur panjang–memperingati Maulid Nabi Muhammad saw, pekan lalu, apresiasi perlu disampaikan kepada para pengelola tempat wisata. Perusahaan transportasi, juga pemerintah daerah (status zona merah) yang sudah bekerja keras menerapkan protokol kesehatan. Fasilitas publik itu menyediakan masker, mengukur suhu tubuh, serta mengingatkan selalu mencuci tangan terhadap wisatawan. Ini sangat penting!
Jika disiplin penerapan protokol kesehatan melemah, pasti akan kembali meledaknya jumlah pasien Covid-19. Ini juga berdampak—memperlambat pemulihan ekonomi. Perlu kesadaran tingkat tinggi. Tapi ada juga sebagian masyarakat tidak menghiraukan bahaya corona. Mungkin sudah bosan, atau juga mereka sudah diimpit tuntutan ekonomi.
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dibentuk pemerintah menjabarkan tiga program, yakni Indonesia Sehat sebagai prioritas pertama, Indonesia Bekerja sebagai prioritas kedua, dan Indonesia Tumbuh sebagai prioritas ketiga.
Negara ini bertekad menyelamatkan nyawa manusia dari penularan Covid-19 adalah harga mati. Kebijakan ini sangat tepat. Tapi faktanya, masyarakat masih tetap abai dengan kesehatan. Rakyat takut mati karena kelaparan ketimbang mati terpapar corona. Padahal nyawa manusia adalah prasyarat untuk menyelamatkan ekonomi.
Harusnya tidak perlu takut karena ekonomi dihadang resesi. Krisis lebih mudah disembuhkan jika dibandingkan dengan menyelamatkan nyawa manusia. Inilah yang perlu dijaga dan diingatkan agar anak-anak bangsa selamat dari wabah Covid-19.
Eropa saja menerapkan protokol kesehatan sangat ketat. Sangat ekstrem seperti Italia dan Spanyol. Negara itu menerapkan lockdown secara berseri bagi rakyatnya. Indonesia menghindarinya karena akan mengganggu kinerja perekonomian. Rakyat belum siap! Rakyat masih memikirkan isi perut ketimbang nyawa dan kesehatannya.
Indonesia lebih memilih menerapkan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) dan 3T (tracing, testing, treatment) guna menekan penyebaran virus corona. Pemberlakuan lockdown memicu pertumbuhan ekonomi makin minus. Singapura dan Malaysia memiliki pertumbuhan negatif hingga belasan persen akibat pembatasan wilayah bagi warganya.
Ini tidak akan memberikan manfaat yang lebih. Justru menambah sesak napas rakyat. Yang jelas pada Kamis (5/11/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia resmi mengalami resesi seperti dialami berbagai negara di dunia karena wabah Covid-19. Selama dua triwulan berturut-turut, negara ini mengalami pertumbuhan negatif.
Pada triwulan III-2020 pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi minus 3,49% (year on year/yoy). Sementara kuartal II, juga mengalami kontraksi yang cukup dalam yakni mencapai minus 5,32%. Apa yang terjadi ketika negara ini resesi? Pengangguran meningkat karena banyak perusahaan mem-PHK karyawan. Memicu bermunculan orang-orang miskin baru.
Selain itu angka kriminalitas naik drastis akibat sulitnya mencari sumber-sumber kebutuhan hidup yang halal. Ketimpangan sosial kian melebar. Orang kaya tetap mapan karena memiliki harta dan aset yang melimpah. Sedangkan kelas menengah akan meratapi ujian kemiskinan karena secara bersamaan pendapatan menurun. Inilah yang ditakutkan penduduk bumi. ***