SPECIAL Mission Vehicle (SMV), khususnya terkait dengan urgensi pembentukan SMV Kementerian Keuangan, memang sudah tidak asing lagi eksistensinya di lingkungan Kementerian Keuangan, tetapi tetap sangat menarik untuk diperbincangkan. Sebagaimana diketahui, dalam pelaksanaannya SMV dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga, atau Badan Layanan Umum (BLU) yang berada di bawah pembinaan dan pengawasan Menteri Keuangan. Tugas khusus SMV adalah untuk melaksanakan misi pembangunan.
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi pembentukan SMV, antara lain proyek infrastruktur pemerintah yang membutuhkan biaya tinggi. Selain itu, pelaksanaan tugas Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal yang memiliki kewajiban untuk menjaga agar APBN tetap sehat dan akuntabel. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mengambil langkah dengan mengupayakan pembiayaan kreatif, antara lain melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dan menugaskan BUMN di bawah Kemenkeu. Dalam menjalankan misi khusus ini, BUMN dan BLU yang berada di bawah Kemenkeu bersinergi menjadi SMV.
Latar belakang pelibatan BUMN dalam SMV tersebut menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran BUMN dalam membantu tugas pemerintah, sejalan dengan tata kelola kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana konsepsi dasar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) dan konsep penyelenggaraan negara oleh pemerintah di era modern (reinventing government) dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks tata kelola keuangan negara, pembentukan rumusan pengaturan pengelolaan keuangan negara, khususnya terkait kekayaan negara yang dipisahkan dalam UU Keuangan Negara, tidak akan terlepas dari tata cara pengelolaan keuangan negara yang telah diamantakan dalam UUD 1945.
Beberapa ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa pengaturan pengelolaan keuangan negara merupakan wujud nyata dari sebuah kegiatan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia sebagaimana yang dinyatakan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam rangka implementasi amanat UUD 1945 di atas, maka pada ketentuan Pasal 23C UUD 1945 dinyatakan bahwa hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Oleh sebab itu, dalam rangka untuk memenuhi kewajiban konstitusional sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 23C UUD 1945 dan dalam rangka untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan terkait dengan pengaturan yang berhubungan dengan pengelolaan keungan negara serta dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, maka diterbitkanlah UU Keuangan Negara.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Keuangan Negara yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 2 UU Keuangan Negara, terdapat beberapa ruang lingkup keuangan negara, yang apabila dikelompokkan dalam beberapa kelompok besar maka sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan umum angka 3 UU Keuangan Negara, yaitu terdapat tiga pembagian subbidang pengelolaan keuangan negara, di antaranya subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter, dan subbidang pengelolaan kekayaan yang dipisahkan.
Apabila dilihat dari pembagian pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud di atas, dilihat dari segi kekayaannya, terdapat dua jenis kekayaan yang dikelola oleh negara, yaitu kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan negara yang dipisahkan. Pembagian pengelolaan negara dari sisi kekayaan tersebut tidak terlepas dari tujuan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara, yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan jasa dan layanan yang dapat dijangkau oleh setiap warga masyarakat.
Menurut ahli Hukum Keuangan Negara, Siswo Sujanto, dalam penjelasannya yang dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013, perbedaan yang nyata tampak dalam jenis produk atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan dalam bentuk public goods atau private goods.
Selanjutnya pembedaan kekayaan negara yang dipisahkan dalam penjelasan umum UU Keuangan Negara, merupakan dasar-dasar pemikiran filosofis dari para perumus undang-undang yang kemudian menjiwai pasal-pasal ketentuan perundang-undangan tersebut. Oleh sebab itu, analisis yang menjadi objek kajian, yaitu ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara haruslah dipandang berdasarkan pemikiran filosofis keilmuan keuangan negara.
Pemikiran filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut didasari pada berkembangnya fungsi negara yang sangat signifikan di era modern dalam rangka untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa publik. Bentuk, cara, dan pola penyediaan layanan dimaksud kemudian berpengaruh terhadap cara atau model pembiayaannya. Kemudian hal ini yang mau tidak mau pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga sebagai unsur pemerintah dalam pengambilan keputusan di bidang keuangan negara.
Berdasarkan konsepsi tersebut, dapat dipahami bahwa pengelolaan kekayaan yang tidak dipisahkan diselenggarakan oleh kementerian/lembaga negara dan pemerintah daerah. Sedangkan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara yang tidak mencari keuntungan (BUMN/D Keuangan, lembaga moneter, lembaga nonmoneter) dan lembaga penyelenggara yang mencari keuntungan (BUMN/D nonkeuangan).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah dapat menggunakan organ-organ, baik publik, semipublik ataupun privat murni. BUMN merupakan lembaga semipublik yang memang mempunyai ciri publik ataupun juga mempunyai ciri privat atau dalam kata sehari-hari ini merupakan lembaga privat yang berpelat merah.
Namun, dalam pemanfaatan BUMN oleh pemerintah tersebut, dalam perspektif UU Keuangan Negara, pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan tetap dalam artian bahwa tidak terlepas dari kekayaan negara lalu mandiri atau otonom, tapi harus diartikan sebagai “hanya dipisahkan dari APBN”. Pemisahan kekayaan tersebut semata-mata untuk menjamin fleksibitas kemampuannya untuk mengelola kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola baku pengelolaan anggaran pemerintah. Oleh sebab itu, anggaran otoritas keuangan, baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan tetap di bawah pengawasan DPR dan diperiksa oleh BPK.
Reinventing Government
Penjelasan-penjelasan sebelumnya, berdasarkan perspektif rumusan UU Keuangan Negara, memiliki kemiripan dengan konsep reinventing government. Osborne dan Gaebler mengungkapkan bahwa untuk memperbaiki pelayanan publik dari pemerintah, diperlukan suatu konsep, pola pikir, serta sistem baru yang membuat pemerintah lebih fleksibel dan tidak kaku atau dengan kata lain mewirausahakan pemerintah. Pentingnya pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah dapat membaik dengan cara memberi wewenang yang lebih kepada masyarakat atau pihak swasta untuk lebih berpartisipasi dalam proses pelayanan publik.
Dengan kata lain, pemerintah lebih banyak merangkul masyarakat dan swasta untuk bersama-sama memikul suatu tanggung jawab atau urusan. Sebab, sebagaimana yang diingatkan oleh Peter Drucker dalam bukunya The Age of Discontinuity (1968) yang dikutip oleh Osborne dan Gaebler, menyatakan bahwa setiap upaya untuk menggabungkan “memerintah” dengan “melaksanakan” dalam skala besar, akan melumpuhkan kemampuan pengambilan keputusan.
Di samping itu, jika urusan-urusan yang sebenarnya bisa diserahkan kepada organisasi swadaya masyarakat tetap dipegang atau dilaksanakan oleh pemerintah, dikhawatirkan menimbulkan gejala “ketergantungan” masyarakat kepada pemerintah. Setiap permasalahan yang muncul, penyelesaiannya selalu dipasrahkan sepenuhnya kepada pemerintah sehingga kreativitas dan semangat inovasi individu menjadi melemah.
Dengan alasan demikian, Osborne dan Gaebler menghendaki agar tugas pemerintah untuk “mengayuh” dan mengarahkan” dipisahkan. Sebab, di masa sekarang lembaga pemerintah membutuhkan fleksibilitas untuk merespons setiap kondisi yang kompleks dan berubah dengan cepat. Hal ini sulit jika para penentu kebijakan hanya mampu menggunakan satu metode pelayanan yang dihasilkan oleh birokrasi mereka sendiri. *