DEMOKRASI bukan dimulai oleh organisasi, melainkan oleh individu yang demokratis sejak dari rumah, di jalanan, dalam otak, dalam perbuatan. (Pramoedya Ananta Toer)
Saya tertarik dengan status Facebook seorang arsitek Ugahari Yoshi Fajar Kresno Murti bahwa hentikan panggilan tukang kayu pada Presiden Jokowi. Framing tukang kayu adalah bahasa politik untuk merebut citra sejak awal, Jokowi lebih tepatnya adalah pedagang mebel atau bakul furnitur yang identik dan berurusan dengan lobi, makelar, dan koneksi.
Dalam buku Takashi Shiraishi berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Takashi mengupas kemunculan pergerakan rakyat Indonesia selama awal hingga perempat abad ke-20. Aksi-aksi pergerakan yang terekspresikan melalui penerbitan surat kabar, karya sastra, pembentukan perkumpulan, rapat-rapat umum, dan demonstrasi menandai cikal bakal pergerakan nasionalisme.
Kata “pergerakan” kemudian diganti dengan istilah “tukang” pasca-1965. Setelah rezim Orde Baru berkuasa, kata “tukang” hadir seiring dengan proses pemarginalan kaum buruh di kelompok masyarakat urban, (penggerak, pergerakan, dan gerakan) “buruh” mengalami perubahan status menjadi tukang, pekerja bahkan dikalahkan dengan status pegawai, karyawan dan staf.
Yoshi menambahkan bahwa pergerakan kaum buruh begitu menakutkan sehingga pengetahuan, pergerakan, dan pengorganisasian terhadap kaum buruh harus dimarginalkan dengan penyebutan tukang kayu. Representasi kaum marginal yang tidak punya basis pengetahuan, pengorganisasian, dan gerakan massa. Lalu ketika sosok politisi masuk dengan istilah tukang kayu, seolah itulah representasi rakyat, dekat dengan tukang bangunan, tukang bakso, tukang batu, dan tukang lainnya. Kata “tukang” menjadi jualan politik mengeruk suara kelas wong cilik.
Jokowi adalah Kita
Hari ini kita benar-benar memanen tagline kampanye di atas, pada 2014—2024 kita disuguhkan tentang pemimpin adalah representasi kualitas rakyat. Ketika demo-demo penolakan rezim dinasti Jokowi, pembusukan demokrasi dan hukum yang diinjak-injak semau kekuasaan, kelompok intektual perlu berefleksi.
Ya, Jokowi adalah kita. Yaitu kita yang selama ini pragmatis, kita yang mendukung kebohongan, kita yang membiarkan buzzer memengaruhi publik, kita yang menerima politik uang, kita yang haus citra. Jangan-jangan kita juga seperti Jokowi jika berada di atas sana, yang menggunakan segala cara mendukung keluarga untuk terus berkuasa. Seperti aji mumpung, Jokowi adalah kita, dan sejatinya kita adalah Jokowi.
Zaman bergerak harus kembali, istilah tukang dikembalikan kepada kesadaran pergerakan. Semua profesi buruh (kelas pekerja, tukang, pegawai, staf, guru, dosen, karyawan) yang selama ini punya jam kerja menyadari kembalinya tradisi pergerakan. Istilah berkumpul, berhimpun, serikat pekerja, serikat buruh, sarekat Islam zaman itu, isyilah seperti persyarikatan Muhammadiyah adalah sisa spirit zaman bergerak 1920-an. Penanda mereka adalah kelompok-kelompok kolektif yang mengalami pertumbuhan intelektual dan sadar membangun negara melalui pergerakan sosial.
Tradisi berkumpul, tradisi pendidikan berbasis komunitas, tradisi meningkatkan skill melalui organisasi adalah cara pergerakan kaum buruh, kaum tukang untuk membantu negara dalam pertumbuhan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pergerakan mengajarkan banyak rakyat untuk tidak terjebak pada populisme, tapi punya agenda kesadaran bersama mendorong hadirnya keadilan ekonomi, keadilan politik, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas apa pun dari kebijakan pemimpin yang lahir dari rahim pengorganisasian bukan politik populis, citra, padat modal dan rekayasa kelompok oligarki.
Partai politik seharusnya menjadi basis pengaderan. Pembatasan jabatan eksekutif hanya dua periode seharusnya juga terjadi pembatasan dua periode pada legislatif. Kader partai yang sudah dua periode di tingkat kabupaten/kota harus naik mencalonkan diri ke level provinsi. Kemudian legislatif provinsi setelah dua periode harus naik ke DPR RI dan seterusnya DPR RI hanya dibatasi dua periode. Hal ini akan menunjukkan demokrasi di tubuh partai politik sehat. Dan yang lebih penting ketua partai juga hanya dibatasi dua periode sehingga tidak ada ketua partai memimpin sampai lebih dari 32 tahun lamanya. Kita dapat lihat Megawati memimpin 32 tahun, Cak Imin 19 tahun, dan ketua partai lainnya yang melampaui 10 tahun.
Menjadi kader partai politik bukan berarti semuanya harus menjadi pejabat, tapi menjadi kader pergerakan yang membangun gerakan di tengah masyarakat melalui jalan pemberdayaan pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Partai politik saat ini telah berubah menjadi sarang transaksional. Pengalaman partai politik mengambil tokoh-tokoh politik karena faktor populis menunjukkan kaderisasi partai tidak berjalan.
Fenomena PDIP ditinggalkan Jokowi menunjukkan bahwa kekuatan oligarki lebih menarik dari pengideologisasian partai menghadapi kenyataan masyarakat yang semakin pragmatis. Ditambah kader ideologis, seperti Maruarar Sirait dan Budiman Sudjatmiko memilih hengkang dari PDIP karena tidak diberi ruang gerak tubuh partai yang tidak demokratis dan meritokrasi.
Demokrasi harus ditegakkan melalui pengorganisasian. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “didiklah rakyat dengan pengorganisasian, didiklah penguasa dengan perlawanan.” Ketika partai politik tumpul melakukan kerja-kerja pendidikan politik, maka civil society harus lebih kuat mendorong perubahan sosial di tengah masyarakat. Ketika koalisi dalam politik telah berubah pragmatis nir-ideologis, dan rakyat terus ditinggalkan, saatnya kata “pergerakan” dikembalikan ke tiap sudut kota dan desa.
Perubahan sosial butuh banyak penggerak yang rela menggunakan hati, pikiran, dan fisiknya untuk melayani masyarakat. Mereka hadir untuk sama kerja, sama tinggal dan sama makan. Penggerak bukan orang yang pandai berargumentasi, melainkan sedikit membersamai masyarakat. Penggerak adalah kelompok intelektual yang sadar bahwa perubahan sosial dilakukan dengan terus bersarang bersama masyarakat yang didampingi.
“Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka punya; tetapi penggerak yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya”. (Lao Tse, SM 700) *