Bandar Lampung (Lampost.co) — Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini menjadi poros utama dalam transformasi industri global, termasuk dunia perfilman.
Setelah sebelumnya banyak menjadi perdebatan, Academy of Motion Picture Arts and Sciences, penyelenggara ajang Oscars pada April 2025 resmi mengizinkan penggunaan AI generatif dalam produksi film.
Namun, Academy tetap menekankan peran manusia harus menjadi pusat dari setiap karya kreatif. Dalam pengumuman resminya, lembaga tersebut menyebut AI hanya berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti seniman.
Langkah itu muncul di tengah kontroversi besar di Hollywood karena aktor dan kreator menolak penggunaan aktor virtual, seperti Tilly Norwood, karakter buatan AI yang sempat menarik perhatian banyak agensi. Serikat aktor SAG-AFTRA menegaskan kreativitas sejati tetap harus berasal dari manusia.
Film “Nusantara” Bukti AI Mampu Angkat Citra Film Lokal
Gelombang AI juga mulai terasa di Indonesia. Pada Mei 2025, film dokumenter “Nusantara” garapan produser Helmy Yahya meraih penghargaan Best Documentary di ajang AI Film Awards Cannes 2025.
Film itu mengisahkan perjalanan sejarah Gadjah Mada dan sebagian besar proses produksinya memanfaatkan teknologi AI untuk riset, penyuntingan visual, hingga simulasi adegan. Keberhasilan tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu pionir di Asia Tenggara dalam penggunaan AI di industri film.
Menurut laporan Rest of World, sineas Indonesia kini memanfaatkan teknologi seperti Sora dari OpenAI dan Veo milik Google untuk menciptakan karya dengan efisiensi tinggi. Hal itu membuat produksi film ambisius bisa dengan anggaran yang jauh lebih rendah.
“Indonesia sedang berada di titik krusial. Akses terhadap AI memberi peluang besar bagi sineas lokal untuk bereksperimen tanpa hambatan biaya,” ujar Bisma Fabio Santabudi, dosen film dan animasi dari Universitas Multimedia Nusantara.
Tantangan Etika dan Ancaman bagi Pekerja Kreatif
Meski menghadirkan efisiensi, penggunaan AI juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja seni. Banyak animator dan penulis naskah khawatir peran mereka tergantikan mesin.
Concept artist Maximillian R menilai AI tidak bisa meniru ‘rasa’ dan kedalaman emosi manusia. Menurutnya, tahap akhir produksi film tetap memerlukan intuisi seniman agar cerita dan suasana tersampaikan dengan baik. “AI memang membantu tahap awal produksi, tapi hasil akhirnya tetap butuh keputusan kreatif manusia,” ujarnya.
Ia juga menyoroti banyak agensi luar negeri yang memberhentikan pekerja demi mengganti peran mereka dengan AI. Namun, akhirnya kecewa karena hasilnya terasa hambar dan tidak alami.
Harapan Baru: Film Lokal Setara Hollywood
Terlepas dari pro dan kontra, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia Agung Sentausa, menilai AI justru membuka jalan bagi film Indonesia untuk menembus pasar global.
Ia menjelaskan, teknologi AI mampu memangkas biaya produksi yang sebelumnya bisa mencapai Rp10 miliar per film. AI membuat kualitas visual dan penyuntingan bisa mendekati standar Hollywood tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
“Industri film mulai terbuka terhadap kemudahan yang AI tawarkan,” kata Agung kepada Rest of World.
Dukungan terhadap adopsi AI juga terlihat dari penyelenggaraan Festival Internasional AI Bali yang puluhan sineas ikuti dari seluruh dunia. Ajang itu menunjukkan Indonesia siap menjadi pusat perkembangan film berbasis teknologi di Asia.
Masa Depan Sinema: Kolaborasi AI dan Kreativitas Manusia
Ke depan, banyak pihak berharap AI tidak sebagai ancaman, melainkan alat kolaboratif yang memperkuat kreativitas manusia.
“AI hanyalah alat bantu. Yang menentukan tetap manusia karena hanya manusia yang mampu memahami emosi, konteks, dan makna,” tutur Maximillian.
Teknologi yang terus berkembang dan talenta kreatif yang melimpah membuat masa depan film Indonesia tampak semakin cerah. Kolaborasi antara kecerdasan buatan dan manusia bisa menjadi kunci agar film lokal mampu berdiri sejajar dengan Hollywood di panggung dunia.