Paris (Lampost.co)– Pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, kembali menjadi sorotan publik dunia. Setelah sempat ditahan di Prancis atas dugaan memfasilitasi kejahatan terorganisir lewat platform Telegram. Kini Durov telah dibebaskan dan kembali ke markas besar Telegram di Dubai.
Namun, kontroversi belum usai. Selain mengumumkan pencapaian besar Telegram yang kini menembus 1 miliar pengguna aktif.
Durov juga secara terbuka menyerang aturan kontroversial Prancis terkait enkripsi pesan digital. Bahkan ia melontarkan kritik pedas terhadap WhatsApp, menyebutnya sebagai “imitasi murah” Telegram yang sudah tak relevan.
Baca juga: Fitur Baru WhatsApp Panggilan Interaktif dengan Meta AI
Telegram Tembus 1 Miliar Pengguna, WhatsApp Disindir Pedas
Dalam postingan terbarunya di kanal Telegram pribadi, Durov menyampaikan bahwa aplikasi pesan instan yang ia dirikan kini menjadi platform terbesar kedua di dunia setelah WhatsApp. Telegram naik dari 950 juta pengguna aktif bulanan pada Juli 2024 menjadi 1 miliar pada April 2025.
“Di depan kami berdiri WhatsApp. Imitasi Telegram yang murah dan sudah tidak relevan lagi,” tulis Durov, menyindir Meta, pemilik WhatsApp.
RUU Anti-Enkripsi Prancis Picu Reaksi Keras Durov
Tak hanya soal pencapaian, Durov juga mengeluarkan peringatan keras terhadap RUU di Prancis yang berusaha melarang enkripsi end-to-end dalam aplikasi perpesanan, termasuk Telegram.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya mengancam privasi pengguna. Tetapi juga membuka pintu bagi kejahatan siber dan penyalahgunaan data.
“Anggota Majelis Nasional bertindak bijaksana dengan menolak UU yang akan menjadikan Prancis negara pertama di dunia yang merampas hak privasi teknologi warganya,” tulis Durov, mengapresiasi penolakan RUU oleh parlemen Prancis.
Bahaya Backdoor: Dari Polisi hingga Peretas
Durov menegaskan bahwa membuat “backdoor” (akses pintu belakang) dalam sistem enkripsi bukan solusi aman. Sekali celah itu dibuka, katanya, tidak ada jaminan hanya aparat hukum yang bisa mengakses. Celah itu bisa dimanfaatkan oleh agen asing, hacker profesional, hingga organisasi kriminal digital
“Begitu kerentanan itu ada, ia jadi target semua pihak bermusuhan. Pesan pribadi warga negara yang taat hukum pun bisa disusupi,” jelasnya.
Telegram, tegas Durov, tidak akan tunduk pada kebijakan yang mengancam enkripsi dan privasi pengguna. Bila mendapat paksaan untuk membuka enkripsi, Telegram lebih memilih hengkang dari negara tersebut.
“Telegram lebih baik meninggalkan suatu negara daripada harus melemahkan enkripsi atau mengorbankan privasi pengguna,” tegasnya.
Rekam Jejak Telegram dan Privasi
Selama 12 tahun eksistensinya, Telegram mengklaim belum pernah mengungkap satu pun pesan pribadi pengguna. Bahkan saat menghadapi perintah pengadilan, Telegram hanya menyerahkan alamat IP, nomor telepon tersangka tanpa pernah membuka isi percakapan pengguna.
Menanggapi alasan RUU ini di buat untuk memberantas perdagangan narkoba dan kejahatan terorganisir, Durov menyebut argumen tersebut sebagai keliru dan berbahaya.
“Melemahkan aplikasi besar seperti Telegram takkan menghentikan kejahatan. Penjahat cukup berpindah ke aplikasi lain, yang bahkan lebih sulit dilacak berkat VPN,” sindirnya.