Jakarta (Lampost.co): Koalisi Masyarakat Sipil dari Reformasi Kepolisian membuat laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal dugaan mark up dalam pengadaan gas air mata pada 2021 sampai 2022.
“Dugaan indikasi mark up ini mencapai Rp26 miliar, ini sudah kami sampaikan kepada pimpinan KPK,” kata anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin, 2 September 2024.
Agus juga mengatakan laporan itu berdasar hasil investigasi pihaknya atas pemantauan cara polisi membubarkan massa demo dengan gas air mata, beberapa waktu lalu. Hasil penelusuran mengindikasikan adanya dugaan rasuah yang menjadi laporan.
“Penggunaan anggaran ini adalah bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN),“ ujar Agus.
KPK juga mesti menindaklanjuti laporan itu. Apalagi, kata Agus, jumlahnya tidak sedikit.
Ketegasan KPK bukan untuk merusak citra Polri jika aduan itu berlanjut. Justru, kata Agus, Lembaga Antirasuah membantu Korps Bhayangkara berbenah.
“Korupsi yang terjadi atau melibatkan aparat penegak hukum itu justru akan merusak citra dari penegak hukum sendiri,” tutur Agus.
Sementara itu, Amnesty International Indonesia mengecam Polri yang melakukan tindakan represif dan kekerasan dalam menghadapi demonstrasi di sejumlah daerah. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut tindakan aparat kepolisian brutal.
“Penggunaan gas air mata yang tidak perlu dan tidak terkendali hingga pemukulan menyebabkan banyak korban sipil, termasuk anak-anak di bawah umur,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Selasa (27/8).
Ia menilai, tindakan polisi telah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan berbahaya bagi keselamatan warga, terutama anak-anak yang terdampak. Bagi Amnesy, cara aparat kepolisian yang brual dalam menangani massa aksi selalu berulang.