Jakarta (Lampost.co)–Isu lama tentang keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka di tengah publik usai mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menilai wajar jika masyarakat meminta kejelasan. Ia menegaskan, publik memiliki hak penuh untuk mempertanyakan dokumen-dokumen resmi milik pejabat negara berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
“Enggak salah. Karena ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, di mana masyarakat berhak sepenuhnya mengetahui dan meminta dokumen itu di buka untuk transparansi,” ujar Mahfud dalam siniar Terus Terang yang tayang di YouTube Mahfud MD Official, Rabu, 16 April 2025.
Baca Juga: Polemik Ijazah Jokowi Tak Perlu Diperpanjang, Hanya Memperburuk Citra Indonesia
Meski demikian, Mahfud mengingatkan bahwa keabsahan atau tidaknya ijazah tidak akan membatalkan keabsahan seluruh keputusan yang telah diambil Jokowi selama menjabat sebagai presiden. Ia merujuk pada asas kepastian hukum dalam hukum administrasi negara, yang menyatakan keputusan sah tetap mengikat meskipun terdapat cacat administratif di belakangnya.
“Kalaupun nanti misal terbukti, keputusan-keputusan Jokowi sebagai Presiden tetap sah dan tidak bisa terbatalkan. Karena dalam hukum administrasi ada asas kepastian hukum,” tegas Mahfud.
Mahfud bahkan mengaitkan situasi ini dengan sejarah Indonesia, mengingatkan bagaimana Bung Karno mengambil langkah melawan konstitusi Belanda dalam upaya kemerdekaan. Akhirnya tersahkan oleh Mahkamah Agung demi kepentingan rakyat.
Di sisi lain, Mahfud juga menekankan bahwa membatalkan keputusan negara berdasarkan ketidakabsahan ijazah bisa menimbulkan persoalan hukum serius, termasuk berisiko menimbulkan tuntutan internasional terhadap Indonesia.
Rumor mengenai dugaan ijazah palsu Jokowi sendiri sudah bergulir sejak beberapa tahun lalu. Tercatat, ada tiga gugatan hukum yang sempat terajukan dan semuanya termenangkan oleh pihak Jokowi.
Namun, perdebatan kembali menghangat setelah muncul klaim bahwa terdapat perbedaan font pada lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi, yakni penggunaan font Times New Roman, yang konon belum terigunakan secara luas pada era 1980-an.
Publik pun kembali terbelah. Sebagian mendesak keterbukaan lebih lanjut, sementara lainnya berpegang pada keputusan hukum yang telah berkekuatan tetap. Hingga kini, pihak Jokowi maupun kuasa hukumnya belum pernah mempublikasikan ijazah asli di hadapan umum. Meski telah beberapa kali menang dalam gugatan terkait keabsahan dokumen tersebut.