Jakarta (Lampost.co) — Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM menilai biaya politik tinggi masih menjadi faktor utama yang mendorong korupsi kepala daerah. Temuan itu kembali mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, karena dugaan penerimaan suap sekitar Rp5,75 miliar.
Poin Penting:
-
Biaya politik tinggi memicu korupsi kepala daerah.
-
Kasus Ardito Lampung Tengah menguatkan pola tersebut.
-
Pukat UGM menawarkan tiga solusi: reformasi partai, redesign Pilkada, dan perbaikan pengawasan.
Menurut KPK, sebagian dana itu untuk membayar pinjaman bank untuk mendanai kampanye Pilkada 2024. Karena itu, Pukat UGM menegaskan korupsi kepala daerah tidak bisa lepas dari biaya politik tinggi atau high cost politics dalam setiap kontestasi politik.
Biaya Politik Besar
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menjelaskan korupsi kerap muncul karena kandidat harus mengembalikan biaya politik tinggi. Karena itu, ia menilai Indonesia memerlukan reformasi sistem kepartaian, perbaikan pengawasan, dan redesain sistem Pilkada.
Baca juga:
“Reformasi itu harus berjalan bersamaan. Tanpa itu, korupsi kepala daerah terus berulang,” kata Zaenur.
Zaenur menilai reformasi kepartaian menjadi langkah awal. Menurutnya, partai harus membuka demokrasi internal dan memperbaiki sistem pendanaan agar kandidat tidak menanggung biaya kampanye sendirian.
“Solusinya revisi undang-undang pemilu. Negara harus memastikan pendanaan parpol transparan,” katanya.
Desain Ulang Pilkada agar Murah
Selain itu, Pukat UGM menegaskan rancangan pilkada dengan biaya serendah mungkin. Negara, kata Zaenur, perlu menanggung sebagian besar kebutuhan kampanye. “Kontestan cukup bertanding. Negara yang menanggung biaya pemilihan,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan penyelenggara pemilu mengelola sepenuhnya kampanye. Dengan begitu, peserta tidak lagi membayar atribut, panggung, dan pertemuan besar. “Peserta cukup hadir. Ekosistem politik saat ini terlalu mahal dan memicu politik uang,” ujarnya.
Inspektorat Dinilai Tidak Efektif
Zaenur menilai pengawasan di daerah juga harus menapat pembenahan. Inspektorat selama ini lemah karena berada langsung di bawah kepala daerah.
“Mereka mampu, tetapi tidak independen. Mereka bertanggung jawab kepada orang yang mereka awasi,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan inspektorat daerah bertanggung jawab kepada pihak di atasnya. Untuk kabupaten/kota, bisa mengalihkan pengawasan kepada gubernur. Sementara inspektorat provinsi dapat berada langsung di bawah Menteri Dalam Negeri. “Desain ulang mutlak. Tanpa itu, korupsi kepala daerah tidak berhenti,” ujarnya.








