Bandar Lampung (Lampost.co) — Perkembangan teknologi yang begitu cepat, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) mengubah banyak aspek kehidupan. Mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, dan politik juga ikut terdampak. Situasi itu membuat penyebaran hoaks semakin beragam dan sulit terkendali.
Pengamat komunikasi Lampung, Feri Firdaus, menilai masyarakat saat ini berada pada masa transisi teknologi yang luar biasa. Kondisi itu memicu disrupsi di berbagai sektor, termasuk pola konsumsi informasi.
Menurutnya, hoaks terbagi dalam tiga kategori utama, yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan perlu pemahaman publik agar tidak mudah terjebak.
“Misinformasi adalah informasi yang tersebar dan orang-orang tidak tahu itu salah. Jadi, tidak ada intensi untuk menyesatkan hanya karena ketidaktahuan,” jelasnya.
Sementara itu, disinformasi bersifat lebih berbahaya karena terbuat secara terencana untuk menyerang pihak tertentu. “Jenis ini terfabrikasi, biasanya tersebar lewat akun bodong dan cenderung fitnah karena untuk menjatuhkan orang lain,” katanya.
Adapun malinformasi merupakan informasi benar tetapi dicabut dari konteks waktu maupun ruang. Akibatnya, pesan yang publik terima bisa menimbulkan salah tafsir dan berujung pada keresahan.
Feri mengingatkan, perguruan tinggi punya peran penting dalam meredam gelombang informasi menyesatkan itu. Media sosial seharusnya bisa menjadi ruang sehat untuk berdialog dan berdiskusi, bukan ladang subur bagi fitnah dan provokasi.
Ia menilai, generasi Z dan Alpha sebagai digital native justru tidak otomatis tangguh menghadapi derasnya informasi.
“Sifat dasar media digital adalah manipulatif, apalagi dengan hadirnya AI. Maka benteng terbaik adalah kecerdasan masyarakat dalam memilah dan mengelola informasi, bukan sekadar menjadi konsumen pasif,” pungkasnya.