Bandar Lampung (Lampost.co) — Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) mengancam kebebasan berekspresi pada ruang digital. Hal itu terungkapkan oleh Koordinator Divisi Riset Remotivi Muhammad Heychael. Menurutnya, apabila aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerapkan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS) pada subjek ruang digital. Maka bisa membatasi kebebasan berekspresi.
.
“Semestinya buat beda aturannya. Logika digital dan penyiaran berbeda. Dalam penyiaran ada aspek keserempakan, publik agensinya tidak besar. Sementara dalam konteks digital berlaku sebaliknya,” kata Heychael mengutip Media Indonesia, Selasa, 14 Mei 2024.
.
Menurutnya, banyak masyarakat yang memilih untuk berlangganan layanan streaming berbayar untuk mendapatkan konten sesuai dengan yang mereka inginkan. Dengan demikian, tanggung jawab konten mana yang terpilih dan terkonsumsi juga otomatis menjadi tanggung jawab publik. Hal itu membuat peran negara pada ranah digital tidak bisa sebesar dalam penyiaran.
.
Salah satu poin yang menjadi perdebatan pada publik saat ini ialah mengenai larangan jurnalisme investigasi. Dalam sebuah pernyataan, DPR mengungkapkan bahwa larangan tersebut menjaga agar proses penyelidikan tidak terganggu oleh opini publik. Menurut Heychael, alasan tersebut tidak logis.
.
“Alasan ini bagi saya justru bertentangan dengan prinsip jurnalistik itu sendiri. Kita semua tahu, pers lahir seiring dengan lahirnya republik. Asumsinya kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif harus diawasi,” tegasnya.
.
Karenanya, lanjut Heychael, bahkan proses penyelidikan itu sendiri tidak bisa terandaikan selalu melakukan dalam kondisi yang ideal. Maka perlu diawasi pers agar tidak keluar dari prinsip dan norma hukum.
.
“Tidak jarang kita menyaksikan proses penyelidikan yang mengkhianati hukum. Kasus sambo misalnya. Apa lalu kita percaya begitu saja?. Dalam kasus itu, tekanan publik yang lahir dari liputan investigatif-lah yang membuat prosesnya berjalan sesuai koridor hukum,” pungkasnya.