Bandar Lampung (lampost.co)– Bahasa Lampung kini berada di ambang kepunahan. Minimnya penggunaan di ruang publik dan media membuat bahasa ibu masyarakat Sai Bumi Ruwa Jurai itu berada dalam status “rentan” dengan indeks vitalitas hanya 0,72.
Kondisi ini menjadi alarm serius bagi pemerintah dan masyarakat. Karena itu, Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 di Provinsi Lampung tak lagi sekadar ajang lomba kebahasaan, melainkan momentum memperkuat gerakan pelestarian bahasa daerah yang mulai kehilangan penutur aktif di generasi muda.
Sekretariat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ganjar Harimansyah mengingatkan, penurunan penggunaan bahasa Lampung terjadi secara masif dalam satu dekade terakhir. “Setiap tahun ada bahasa daerah yang menurun statusnya atau hilang sama sekali. Bahasa Lampung berada pada posisi rentan, karena makin sedikit anak-anak yang menuturkannya di rumah,” ujarnya, Rabu, 22 Oktober 2025.
Ia menambahkan, penyebab utama kemunduran ini adalah perubahan pola komunikasi di era digital. Tayangan televisi dan konten media sosial yang jarang menggunakan bahasa Lampung membuat generasi muda lebih akrab dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing. “Kalau tren ini terus dibiarkan, dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang bahasa Lampung bisa benar-benar hilang,” tegasnya.
Menurutnya, pelestarian bahasa daerah tidak bisa hanya bergantung pada kegiatan seremoni atau lomba tahunan. Upaya tersebut harus menjadi gerakan berkelanjutan di sekolah, keluarga, dan komunitas lokal.
“Bahasa adalah gentong kebudayaan. Di dalamnya ada nilai, cara berpikir, dan identitas. Kalau bahasa hilang, maka budaya ikut terhapus,” ujarnya.
Indonesia, lanjutnya, memiliki 718 bahasa daerah, 778 dialek, dan 43 subdialek yang telah terpetakan oleh Badan Bahasa. Namun, sebagian besar di antaranya berstatus kritis dan terancam punah. Karena itu, revitalisasi harus dijalankan dengan pola baru yang melibatkan masyarakat secara langsung, bukan hanya guru atau lembaga pendidikan.
Mengukur Kesadaran Publik
Kepala Balai Bahasa Provinsi Lampung, Halimi Hadibrata menilai, FTBI 2025 menjadi ruang penting untuk mengukur kesadaran publik terhadap bahasa daerah. “Kami ingin mengembalikan kebanggaan masyarakat terhadap bahasa Lampung. Generasi muda harus merasa keren ketika berbahasa daerah, bukan sebaliknya,” katanya.
Festival yang berlangsung 22—24 Oktober 2025 ini diikuti oleh 120 pelajar SD dan SMP dari 15 kabupaten/kota. Mereka berkompetisi dalam empat cabang lomba: membaca aksara Lampung, mendongeng, membaca puisi tradisi, dan menyanyi lagu daerah. Namun, esensi kegiatan ini bukan kemenangan, melainkan menumbuhkan rasa bangga menggunakan bahasa ibu di ruang-ruang pendidikan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung menegaskan, pemerintah daerah telah menerbitkan surat edaran wajib berbahasa Lampung setiap Kamis di sekolah menengah atas dan berencana memperluasnya ke jenjang SD dan SMP.
“Pembiasaan ini adalah bentuk nyata komitmen kami menjaga bahasa Lampung agar tetap hidup. Selain itu, sudah dibentuk tim pelestarian bahasa daerah melalui peraturan gubernur,” ujarnya.
Perubahan Perilaku
Kebijakan itu jangan berhenti pada instruksi administratif, tetapi juga diikuti perubahan perilaku. “Bahasa harus digunakan setiap hari agar tidak mati. Pemerintah bisa membuat aturan, tetapi pelestari sejatinya adalah masyarakat itu sendiri,” tegasnya.
Ahli kebahasaan dari Badan Bahasa menambahkan, anak yang menguasai bahasa daerah dan bahasa nasional sekaligus cenderung lebih cerdas sosial dan emosional. “Bilingualisme bukan ancaman, justru kekayaan. Anak yang belajar bahasa daerah sejak kecil memiliki empati lebih tinggi terhadap lingkungan budaya,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pengimbasan guru utama agar revitalisasi berjalan konsisten. Guru yang sudah dilatih harus diberi ruang untuk menularkan pengetahuan ke sekolah lain, bukan hanya fokus menyiapkan lomba.
Pelestarian bahasa daerah, menurutnya, adalah gerakan kebudayaan, bukan proyek tahunan. FTBI hanyalah satu titik dari rangkaian panjang upaya menjaga identitas bangsa melalui bahasa ibu.
Dengan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, dan komunitas lokal, diharapkan bahasa Lampung tidak sekadar diperingati setiap tahun, tetapi benar-benar dihidupkan kembali dalam percakapan sehari-hari.
“Bahasa daerah adalah jati diri kita. Menjaganya berarti menjaga Indonesia tetap beragam dan berbudaya,” ujarnya.








