ian (Lampost.co)–Forum penyegaran Ahli Pers Dewan Pers di Bali mengungkapkan bahwa media online atau digital paling banyak melakukan pelanggaran. Tercatat ada 97 persen pelanggaran selama kurun waktu 2022-2023. Media berbasis lokal mengabaikan kode etik jurnalistik dan menggunakan isu provokasi seksual.
Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu mengungkapkan hal itu pada acara pembukaan penyegaran Ahli Pers Dewan Pers di Legian, Bali, Rabu, 2 Oktober 2024. Penyegaran yang berlangsung selama dua hari itu berisi materi antara lain Dampak UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi terhadap Kemerdekaan Pers. Lalu Dampak Implementasi PP No. 32/2024 tentang Tanggungjawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.
Penyegaran ahli pers melibatkan 26 orang dari seluruh Indonesia itu, mendapat materi penajaman terkait Implementasi Perjanjian Kerja sama Dewan Pers dan Polri—Bareskrim. Serta Penanganan Kasus Pers di Kepolisian dan di Dewan Pers.
Baca Juga: Ahli Pers Nilai Kemerdekaan Pers Berperan Vital Ciptakan Demokrasi
Persoalan terkini juga masuk bahasan yakni penyelesaian sengketa pers dalam Pilkada serta pers kampus dalam mencerdaskan publik di perguruan tinggi.
Dua Ahli Pers Dewan Pers dari Lampung masing-masing Iskandar Zulkarnain (Ketua Dewan Kehormatan PWI Lampung) dan Oyos Saroso HN (Mantan Ketua AJI Bandar Lampung). Mereka bersama ahli pers lainnya berkesempatan membedah penyelesaian kasus sengketa pers di Lampung.
Masih menurut Ninik, pelanggaran yang mendominasi media online paling banyak adalah tidak melakukan verifikasi, tidak uji informasi, dan tidak skeptis. “Informasi pejabat selalu dianggap benar, juga tidak menggunakan sumber-sumber kredibel,” kata Ninik.
Baca Juga: Dewan Pers Ajak Penerapan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Jelang Tahun Politik
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers adalah salah satu tugas dan fungsi Dewan Pers yakni melindungi kemerdekaan pers. Termasuk ketika dalam proses hukum berkaitan dengan wartawan dan produk jurnalistik. Maka, Dewan Pers menerbitkan Peraturan Dewan Pers No. 10/Peraturan-DP/X/2009 tentang Keterangan Ahli Dewan Pers.
Peraturan itulah yang kemudian melandasi gelaran program ‘Pelatihan Ahli Pers Dewan Pers’ sejak tahun 2010 hingga tahun 2024. Pada tahun ini saja, program tersebut telah terselenggarakan di Bogor, Jawa Barat pada Juli 2024, dan Oktober di Legian, Bali.
“Situasi konflik terkait pemberitaan saat ini tidak bisa terhindari lagi. Karena itulah, maka peran Ahli Pers Dewan Pers menjadi sangat penting ikut menyelesaikan kasus pers,” ujar Ninik.
Kasus Pers
Ketua Dewan Pers juga mengungkapkan data pengaduan kasus pers di Dewan Pers selama lima tahun terakhir yakni pada tahun 2019 sebanyak 626 kasus, dapat terselesaikan 522 kasus atau 83,4%. Tahun 2020 sebanyak 567 kasus, selesai 479 kasus (84,5%). Pada 2021 sebanyak 774 kasus, selesai 681 kasus (88,0%). Tahun 2022 ada 691 kasus, selesai 663 kasus (95,9%), dan pada tahun 2023 sebanyak 813 kasus, selesai 794 kasus (97,66%).
Karena memang, tanggung jawab pers tidak hanya sampai pada proses penyebaran informasi. Tapi juga sampai pada dampak dari berita produk jurnalistik yang tersebarkan.
“Kita bersyukur, sampai hari ini, ada kesepahaman sama antara Dewan Pers dan Polri dalam hal kode etik jurnalistik. Lalu UU Pers dan UU ITE terkait pers,” lanjut Ninik.
Kesepahaman yang baik tersebut buah dari Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dewan Pers dan Mabes Polri Nomor 03/DP/MoU/III/2022. Dan Nomor NK/4/III/2022 tentang perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum dalam kaitan dengan penyalahgunaan profesi wartawan.
“Kesepakatannya semua pelaporan terkait pers di Polri akan diawali prosesnya dengan meminta pendapat Dewan Pers,” ujarnya.
Menyikapi perkembangan kasus-kasus pers dan ketentuan perundang-undangan yang berdampak kepada pers, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka perlu ada peningkatan kualitas Ahli Pers Dewan Pers. Dalam program ‘ngecas ulang’ – penyegaran para ahli itu, Dewan Pers menghadirkan para narasumber berkompeten sesuai bidangnya. (IKZ)