Bandar Lampung (Lampost.co)—Kapolsek Negara Batin Polres Way Kanan Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus dan Bripda Ghalib, merupakan tiga polisi yang tewas dalam penggerebekan lokasi judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung, Senin, 17 Maret 2025 pukul 16.50 WIB.
Tiga anggota Polres Way Kanan, Polda Lampung gugur saat menggerebek tempat judi sabung ayam itu mengalami luka tembak senjata api di bagian kepala.
Judi sabung ayam menjadi penyakit masyarakat di sejumlah daerah, termasuk di wilayah hukum Way Kanan.
Baca Juga: Kapolsek Negara Batin dan Dua Anggota Polres Way Kanan Dikabarkan Meninggal Dunia Saat Gerebek Judi
Upaya pemberantasan judi sabung ayam kerap pihak kepolisian lakukan. Meski acapkali nihil karena penggerebekan sudah bocor. Aparat kepolisian hanya menemukan sejumlah peralatan judi termasuk kendaraan motor para pelaku judi adu ayam tersebut. Umumnya arena judi berada di kawasan perkebunan atau lokasi sepi yang tak nyolot mata.
Peristiwa tewasnya tiga anggota Polres Way Kanan saat penggerebekan judi ini terindikasi adanya baku tembak dengan oknum yang membekingi judi sabung ayam di wikayah tersebut.
Mengapa judi sabung ayam begitu lekat di masyarakat, berikut Lampost.co mengulik sejarah terkait judi yang mengadu dua ayam pejantan ini berdasarkan dari berbagai sumber.
Adu Ayam Jago atau biasa disebut sabung ayam merupakan permainan yang telah masyarakat lakukan di kepulauan Nusantara sejak dahulu kala. Permainan ini merupakan perkelahian ayam jago yang memiliki taji dan kerap ditambahkan serta terbuat dari logam yang runcing.
Permainan Sabung Ayam di Nusantara ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat, tetapi merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun politik.
Sejarah
Permainan Sabung Ayam di pulau Jawa berasal dari cerita rakyat Cindelaras yang memiliki ayam sakti dan diundang raja Jenggala, Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya terpancung. Tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. Akhirnya raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan mengetahui bahwa Cindelaras tak lain adalah putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang terbuang akibat iri dengki sang selir.
Sabung ayam juga menjadi sebuah peristiwa politik pada masa lampau. Kisah kematian Prabu Anusapati dari Singosari yang terbunuh saat menyaksikan sabung ayam. Kematian Prabu Anusapati terjadi pada hari Budha Manis atau Rabu Legi ketika di kerajaan Singosari sedang berlangsung keramaian di Istana Kerajaan salah satunya adalah pertunjukan adu jago.
Korban Berjatuhan
Peraturan yang berlaku adalah siapapun yang akan masuk kedalam arena sabung ayam tidak boleh membawa senjata atau keris. Sebelum Anusapati berangkat ke arena sabung ayam, Ken Dedes ibu Anusapati menasehatinya agar jangan melepas keris pusakanya. Anusapatu ingin menyaksikannya di Istana. Tetapi sesaat akan memulai laga, Anusapati terpaksa melepaskan kerisnya atas desakan Pranajaya dan Tohjaya.
Pada saat itu di arena terjadi kekacauan dan akhirnya peristiwa yang Ken Dedes kuatirkan terjadi. Kekacauan merengut nyawa Anusapati yang tergeletak mati di arena sabung ayam dibunuh adiknya Tohjaya tertusuk keris pusakanya sendiri.
Kemudian jenazah Anusapati dimakamkan di Candi Penataran dan kejadian itu tetap orang kenang. Anusapati adalah kakak dari Tohjaya dengan ibu Ken Dedes dan bapak Tunggul Ametung. Sedangkan Tohjaya adalah anak dari Ken Arok dengan Ken Umang itu memang riwayatnya gemar menyabung ayam.