Jakarta (Lampost.co) — Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengungkapkan perkembangan terbaru terkait pencairan tunjangan kinerja (tukin) dosen pada 2025.
Dia memastikan mengajukan tambahan anggaran Rp 2,6 triliun ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
“Insya Allah, kalau Kemenkeu dan Banggar DPR menyetujui, tukin dosen akan cair pada 2025,” kata Satryo di Jakarta.
Menurut dia, anggaran itu untuk menutup kesenjangan pendapatan antara dosen ASN yang belum mendapatkan tukin dan yang sudah menerima. Hal itu juga mencakup pembayaran rapelan tunjangan yang selama ini tertunda.
“Kami menutupi perbedaan pendapatan antara dosen yang mendapat tukin dan yang tidak,” kata dia.
Dia melanjutkan, saat ini banyak dosen belum memperoleh tukin karena terkendala syarat sertifikasi dosen (serdos). Padahal, pendapatan dosen sering kali lebih rendah daripada tenaga kependidikan administratif di perguruan tinggi, meskipun memiliki kualifikasi S2 atau S3.
“Kami berusaha agar pendapatan dosen setidaknya setara atau sedikit lebih besar dari tenaga administratif. Sebab, beban tugas mereka berbeda,” ujar dia.
Kemendiktisaintek sedang mempersiapkan revisi aturan agar dosen yang belum memiliki serdos tetap dapat menerima tukin. Upaya itu juga melibatkan koordinasi dengan Kemenkeu untuk memastikan mekanisme pembayaran berjalan lancar.
“Masalahnya, nama-nama dosen yang belum serdos tidak tercatat di Kemenkeu. Jadi, kami revisi aturan untuk mencakup mereka. Kami hitung kebutuhan anggarannya Rp2,6 triliun,” ujarnya.
Jumlah anggaran itu mencakup dosen yang menjadi “korban” karena tidak mendapatkan tukin akibat ketidaktersediaan kuota sertifikasi. “Kami hitung semua yang tertunda sejak dulu. Ini termasuk rapelan,” ujar dia.
Kesenjangan Pendapatan di Perguruan Tinggi
Tunjangan kinerja di lingkungan Kemendikbudristek saat ini hanya untuk ASN tenaga kependidikan administratif. Perhitungannya berdasarkan kehadiran dan tugas administratif. Namun, dosen memiliki mekanisme berbeda, yaitu gaji ASN dan tunjangan profesi setelah lulus sertifikasi dosen.
“Kinerja dosen tidak bisa hanya dari jam kerja di kantor. Banyak tugas mereka di luar, seperti membimbing mahasiswa, penelitian, hingga pengabdian masyarakat,” kata dia.
Namun, proses sertifikasi dosen membutuhkan waktu lama. Total ada 300 ribu dosen di Indonesia, tetapi alokasi ujian serdos hanya sekitar 500 peserta per tahun. Hal itu menyebabkan banyak dosen belum mendapatkan tunjangan profesi. “Banyak dosen belum serdos karena kuota terbatas, sedangkan fungsional menerima kecil,” ujarnya.
Serdos Otomatis untuk Dosen
Dia mencanangkan agar sertifikasi dosen bisa secara otomatis bagi dosen yang menjabat sebagai fungsional. Langkah itu dapat mempercepat pemerataan pendapatan dosen di seluruh Indonesia.
“Kami sedang memikirkan mekanisme agar dosen fungsional otomatis tersertifikasi sehingga semua bisa mendapat tunjangan profesi,” ujarnya.
Dia berharap pencairan Rp2,6 triliun itu dapat mengatasi masalah kesenjangan pendapatan ASN di perguruan tinggi. “Prioritasnya sekarang memenuhi kebutuhan dosen yang selama ini dirugikan karena belum serdos,” kata dia.
dia berharap langkah itu membuat dosen tidak lagi mengeluh terkait pendapatan yang lebih rendah dari tenaga administratif di perguruan tinggi. “Ke depan tidak ada lagi kesenjangan antara dosen dan tenaga kependidikan. Semua akan mendapatkan hak yang setara,” katanya.